Sabtu, 06 Oktober 2012

Cerita Rakyat Sumbawa : SI GILA DARI DUSUN CUNI

Patek dan Jali adalah dua orang yang bersahabat dalam pola hubungan yang mungkin bisa dianggap aneh. Jali, panggilan akrab Gazali, mulai tinggal di Dusun nCuni, Desa Kwangko, sebuah permukiman nelayan di Kabupaten Dompu, sejak ia ditugaskan memimpin base-camp proyek budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba milik PT Solar Sahara Mina atau sering disebut SSM yang berkantor pusat di Jakarta. Tapi Patek, seorang warga dusun di tepi pantai Teluk Dompu itu sudah lebih lama menjadi warga dusun yang dikenal banyak orang. Berbeda dengan Jali yang dikenal sebagai manajer perusahaan, Patek dikenal sebagai seorang gila, karena perilakunya yang aneh. Sebagian warga yang lain menganggapnya orang yang terbelakang mentalnya, seorang idiot. Namun sebaliknya, ada juga sebagian kecil orang yang menganggapnya pula sebagai semacam orang suci karena ia sangat rajin beribadah, hampir tidak pernah ketinggalan shalat lima waktu berjamaah, di masjid yang berbeda-beda, dengan wirid yang lama. Paling tidak Patek dianggap sebagai seorang yang penuh misteri.
Ia dianggap gila karena sangat pendiam dan tidak bergaul dengan orang dan tidak banyak celoteh. Tidak pernah ia berkata-kata kalau tidak karena orang memulainya mengajak bicara atau bertanya. Itu pun ia tidak banyak omong. Jika bicara, ia tidak menatap wajah orang yang mengajaknya berbicara. Ia selalu menundukkan kepala. Agaknya ia tidak bisa menjawab pertanyaan orang mengenai hal-hal yang sulit, misalnya mengenai kepercayaan atau imannya. Walaupun ia menyadari dirinya seorang Muslim, tetapi tidak bisa menjelaskan rukun iman dan rukun Islam umpamanya, padahal ia tahu dan percaya pada nabi. Kitab suci Al Quran atau bahkan kehidupan akhirat yang ia percayai adanya.
Asal-usul Patek juga tidak banyak diketahui. Namanya pun aneh, tidak mengandung arti apa pun. Ia tidak pernah menjelaskan kepada orang lain siapa keluarganya. Hanya saja ia mengatakan dari mana ia sebenarnya berasal sebelum pindah ke Dusun nCuni, yaitu dari Desa Labuhan Jambu, sebelah barat Desa Kwangko, kira-kira delapan puluh kilometer. Namun, ia tidak menjelaskan mengapa ia meninggalkan kampung halaman, tempat tumpah darahnya itu. Ia hanya mengaku sudah tidak punya sanak saudara lagi, hidup sebatang kara. Ia tidak pula punya istri dan tidak punya cita-cita untuk kawin karena ia mengira tidak seorang perempuan pun yang mau ia kawini. Walaupun tidak kawin, ia tidak pernah berbuat zina karena tahu zina adalah perbuatan dosa.
Boleh dibilang, ia tidak pernah menginjak bangku sekolah. Ia hanya belajar mengaji saja dari seorang ustadz di kampung. Ia sebenarnya baru ditinggal mati kedua orangtuanya ketika menjelang dewasa. Mungkin karena sedihnya, dan selalu dihantui kenangan kepada kedua orangtuanya, ia meninggalkan kampung kelahirannya untuk mengembara dan akhirnya terdampar di Dusun nCuni. Rumah warisan orangtuanya dijualnya dan dibelikan sebidang tanah di nCuni yang didirikannya bangunan baru.
Di dusun itu ia tinggal di sebuah gubuk yang sangat sederhana yang dibangunnya di tepi pantai teluk yang panjangnya sekitar seratus kilometer menjorok ke darat dari lautan Hindia itu. Teluk itu begitu tenang karena hampir tak ada gelombang, sebagaimana di Laut Hindia. Hanya riak air kecil ditiup angin. Gubuknya itu agak terpisah dari perumahan penduduk, tetapi dekat dengan sebuah masjid kecil, barangkali lebih tepat disebut surau, yang didirikan oleh Jali sebagai pimpinan base-camp. Walaupun kecil, surau yang sebenarnya cukup luas itu banyak dikunjungi orang, baik karyawan maupun orang kampung. Di samping surau itu ada beberapa ledeng, tempat orang mengambil air wudu.
Masjid atau surau itu tampak bersih. Tak ada debu, walaupun terbuka tak berdinding. Tapi surau itu cukup makmur karena sering dipakai untuk pengajian, laki-laki dan perempuan bercampur, tanpa hijab. Yang memberi pengajian di surau itu adalah ustadz-ustadz muda dari Desa Kwangko. Kadang kala Jali ikut memberi ceramah berdasar pengetahuan agama yang ia miliki. Tekanan ceramahnya adalah soal-soal akhlak dan muamalat, maklum, Jali adalah seorang profesional pimpinan perusahaan yang sangat berkepentingan dengan masalah-masalah perilaku mencari nafkah di sebuah kampung nelayan. Mereka itu walaupun menjalankan shalat dan pergi ke masjid, namun sulit meninggalkan kebiasaan berjudi dan minum minuman keras buatan lokal. Perilaku itu menurut Jali bisa mengganggu kegiatan ekonomi desa, misalnya merangsang kejahatan dan yang terang menimbulkan perilaku boros.
Kebersihan surau itu, tak ragu lagi, adalah berkat peranan Patek, yang rajin membersihkan masjid. Untuk membersihkan masjid itu, ia tak mau dibayar, walaupun Jali pernah memaksa Patek untuk menerima uang jasa. Patek tentu saja bukan orang kaya, bahkan dapat disebut orang miskin. Tapi ia pantang meminta-minta. Tak ada orang kampung yang punya pengalaman dimintai uang. Bahkan ia tidak mau menerima uang zakat karena ia merasa bukan fakir miskin dan masih sanggup bekerja mencari nafkah. Penghasilannya dari memungut sampah cukup untuk menghidupi dirinya seorang. Bahkan ia sempat menabung di suatu bank di Dompu. Ketika Jali mendirikan koperasi syariah al Amin, Patek mengalihkan dana tabungannya ke koperasi itu. Jali tahu jumlah uang simpanan Patek, tapi ia tidak pernah memberi tahu kepada orang lain karena koperasi harus bisa menjaga rahasia nasabah.
Pekerjaannya sebenarnya adalah pemulung, yaitu memungut botol-botol kosong bekas aqua. Untuk mencari botol-botol itu ia seminggu tiga kali pergi ke Dompu, sebuah kota kabupaten yang jaraknya sekitar seratus kilometer, di sebelah timur. Biasanya subuh-subuh ia sudah berangkat sehingga bisa memungut sampah di pagi hari. Di samping ke masjid-masjid, ia juga pergi ke gereja-gereja, tentu saja dengan izin penjaganya. Kebiasaan yang dilakukannya adalah membersihkan masjid dan bahkan juga gereja, misalnya Gereja Katolik Santa Maria dan St-Joseph, Gereja Masehi Injil atau Gereja Jemaat Syaloon, semuanya di kota Dompu.
Botol-botol yang dipungutnya itu ditampungnya pada sebuah karung dan kemudian disandang di punggungnya untuk di bawa ke tempat-tempat lain guna dijual. Patek menjual botol-botol aqua itu kepada nelayan-nelayan yang memelihara rumput laut di sepanjang pantai teluk itu. Para nelayan memakai botol-botol itu sebagai pelampung yang diikat dengan tali tempat bersandar rumput laut. Jali juga membina nelayan memelihara rumput laut melalui koperasi. Karena itu, Jali selalu membeli botol-botol aqua itu dari Patek. Sering kali Jali mengajar Patek makan sehingga hubungan kedua insan itu sangat akrab. Hanya Jalilah yang mampu menggali pikiran Patek melalui percakapan, walaupun Patek tetap tidak banyak bicara.
Jika pergi ke kota Dompu, Patek tidak pernah naik kendaraan apa pun, walaupun jaraknya cukup jauh. Ia hanya berjalan kaki tanpa istirahat. Suatu ketika ada orang dari Dusun nCuni yang juga hendak pergi ke Dompu, tapi naik kendaraan umum. Dalam pagi yang temaram ia melihat di muka Patek berjalan kaki. Tapi anehnya, ketika orang itu sampai di kota, ia heran melihat Patek telah sampai terlebih dahulu. Pengalaman itu memang sulit dipercaya. Tapi beberapa orang mempunyai pengalaman yang sama. Cerita itulah yang membuat orang desa percaya bahwa nCuni adalah semacam Nabi Khidhir, walaupun ia sama sekali bukan ahli agama.
Ternyata nama Patek juga dikenal luas di kalangan gereja, di samping kalangan masjid di kota Dompu itu, tak lain karena peranannya sebagai pembersih masjid dan gereja, tanpa mau menerima upah. Ia menganggap, peranannya itu sebagai ibadah kepada Tuhan. Pastor Dhakidae, dari Gereja Katolik Santa Maria, pernah tertarik pada Patek dan karena simpatinya, menanyakan apa agamanya dan bahkan menawarinya untuk dibaptis. Tapi Patek tidak mau karena merasa sudah beragama Islam. Namun, Patek minta diizinkan mengikuti misa di geraja di hari Minggu. Ternyata, dengan kemampuannya yang terbatas untuk memahami suatu ajaran agama, ia suka juga mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Pastor Dhakidae yang berasal dari Flores itu. Pastor itu sering berkhotbah tentang kasih sayang yang dicontohkan oleh Yesus Kristus sendiri. Misalnya Yesus sering menghibur orang yang lagi susah, mencintai anak-anak, bahkan juga menyembuhkan orang sakit. Ia bisa menerima khotbah-khotbah itu karena ia mungkin adalah seorang yang haus kasih sayang.
Karena cukup rajin mengikuti misa di gereja-gereja, nama Patek cukup dikenal di kalangan jemaat. Akhirnya cerita mengenai Patek itu terdengar pula hingga ke Desa Kwangko termasuk oleh Jali. Karena sering mendengar cerita itu, maka Ustadz Abdul Rasyid tidak bisa menahan kesalnya. Ia menanyakan kepada Patek, apakah benar ia sering ikut misa di gereja-gereja. Patek yang jujur, hanya menjawab dengan anggukan, tanpa pembelaan diri.
”Tahukah kamu itu perbuatan syirik, Patek?” tanya ustadz yang memelihara janggut itu. ”Jangan lagi pergi ke gereja ya?” Patek hanya diam, tidak mengiyakan dan tidak pula menolak. Tapi dalam kenyataannya, Patek tetap saja sering pergi ke gereja walaupun setiap kali shalat ia pergi ke masjid untuk bisa memelihara kebiasaan berjamaah lima waktu. Akhirnya Ustadz Abdul Rasyid pun tahu juga kelakuan Patek, sehingga ia mengadu kepada Jali. Ia meminta agar Jali mengambil tindakan tegas dengan melarang Patek membersihkan masjid dan ikut shalat berjamaah. Jali yang akrab dengan Patek tidak bisa mengabulkan desakan Ustadz Abdul Rasyid. Sang ustadz pun menyiar-nyiarkan sikap Jali itu kepada penduduk desa. Di samping itu ia pun mengancam Jali, jika tidak melarang Patek seperti yang ia inginkan, ia akan menghimpun massa untuk membakar masjid dan kalau perlu menyiksa Patek untuk meluruskan akidahnya, demi keselamatannya di akhirat nanti.
Tapi Jali tetap tegar melindungi Patek yang rajin shalat itu walaupun Patek dianggap gila. Sebagai akibatnya, Jali dituding sebagai pelindung orang sesat. ”Patek itu sesat, karena berlaku musyrik dan munafik sekaligus,” kata Ustadz Abdul Rasyid. ”Sebagai pemimpin di Dusun nCuni ini, Pak Jali harus bisa memelihara akidah” kata sang ustadz lantang. ”Kalau Pak Jali tetap melindungi orang sesat dan murtad, maka saya akan mengusulkan kepada Pak Iryanto untuk memecat Anda,” kata ustadz yang sering memakai topi putih itu mengancam Jali. Pak Iryanto adalah bos Jali di Jakarta. ”Saya juga tidak bertanggung jawab jika umat yang resah mengambil tindakan sendiri,” ancamnya.
”Lho kalau dia dilarang pergi ke masjid, malahan ia akan sembahyang di gereja?” jawab Jali. ”Ya itu lebih baik, sekalian pindah agama. Islam tidak memerlukan orang musyrik dan munafik,” sahut sang ustadz. ”Pak Jali,” lanjut sang ustadz, ”Ini bukan hanya pandangan saya, tetapi telah menjadi kesepakatan bersama dari para ustadz di Desa Kwanglo di sini. Saya tidak perlu fatwa Majelis Ulama di Dompu untuk mengadili si Patek yang jelas sesatnya itu.” Jali sebenarnya juga memahami pandangan Ustadz Abdul Rasyid dan ustadz-ustadz lainnya itu. Cuma ia tidak bisa memaksa Jali. Malah Jali memandang Patek memendam kecerdasan rohani yang tinggi karena bisa menghargai kebenaran atau kebaikan pada agama lain. Karena itu, Jali merasa bangga bisa tidak mencampuri kepercayaan orang lain.
Tapi, karena ancaman dan sekaligus kasih sayang pada sahabatnya itu, Jali terpaksa berbicara dengan Patek dan memberanikan diri menanyakan perilaku teman dekatnya yang dianggap sesat itu. Tapi Patek tidak banyak bicara. Ia cuma bilang bahwa ia ingin memelihara hubungan dengan pimpinan gereja agar ia dapat terus bisa memungut sampah yang merupakan sumber penghasilannya itu. Lagi pula ia telah telanjur memelihara hubungan baik dengan para pastor dan pendeta. Ia tidak hanya mengunjungi gereja Katolik, tetapi juga Protestan. Tapi ia tidak menjadi anggota gereja. Terhadap keterangan itu Jali menjawab, ”Tapi kamu tak usah menjual agama hanya untuk sesuap nasi dong.” Yang diajak berbicara tidak bisa menjawab. Sulit ia mempertanggungjawabkan perilakunya yang mungkin tidak ia pahami sendiri karena cuma mengikuti perasaan.
Melihat Patek bersikap lugu dan jujur itu, Jali tidak bisa berbuat apa-apa. Malah ia kasihan kepada Patek dan berdoa semoga Patek diberi petunjuk dan diampuni dosanya oleh Tuhan Yang Maha Tahu luar dalam iman, ibadah, dan akhlak seseorang. Karena keteguhan sikap Jali, ustadz yang menyala-nyala jika sedang berbicara mengenai akidah itu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia juga tidak berhasil menghasut masyarakat untuk membakar masjid atau menganiaya Patek, walaupun orang yang dinilai tidak normal itu telah dianggap merusak akidah dan meresahkan masyarakat.
Pada suatu hari terdengar suatu berita yang menggemparkan seluruh penduduk kampung. Patek telah mendaftarkan diri sebagai calon haji dan membayar ONH. Bagi orang Sumbawa, khususnya orang suku Sasak, naik haji adalah puncak cita-cita beribadah di tengah-tengah kemiskinan. Orang yang telah naik haji mendapatkan martabat dan penghormatan yang sangat tinggi.
Uang pembayaran ONH Patek sesungguhnya berasal dari tabungannya di Koperasi al Amin. Orang-orang pada umumnya tidak percaya terhadap hal itu dan karena itu menyangka dan menuduh Jali berdiri di belakang Patek dengan telah membiayai Patek membayar ONH. Tapi Jali mengetahui betul berapa uang simpanan Patek di Koperasi al Amin. Ia telah bertahun-tahun menabung sebagian penghasilannya. Ia tidak merasa perlu membantah tuduhan atau kecurigaan orang. Karena Tuhan Yang Maha Tahu.
Akhirnya dalam suatu ceramahnya, Jali mengusulkan suatu program baru Koperasi al Amin, yaitu program Tabung Haji untuk kaum nelayan. Patek seorang pemulung sampah saja mampu menabung, apalagi nelayan yang mampu menangkap ikan kerapu atau ikut dalam program pembudidayaan ikan kerapu yang diorganisasikan oleh SSM. Ia menjadikan Patek sebagai tokoh teladan, sekalipun masyarakat menganggapnya penuh misteri dan tokoh kontroversial.

Sumber : M Dawam Rahardjo
Dikutip Dari Sumbawanews

Cerita Rakyat Sumbawa : MEKE SIREP

Pertemuan Di Ruang Sidang
Pada tahun 1350 Gajah Mada Mahapatih kerajaan Maja Pahit besrta Empu Nala mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Merauke guna membuktikan cita – citanya yang terkandung dalam Sumpah Pala. Nusantara bersatu di bawah lambang bendera Majapahit di bawah pimpinan raja yang bijaksana yaitu Hayam Wuruk dengan Mahapatih yang sakti yaitu Gajah Mada.
Pada waktu rakyat kerajaan Tana Samawa di bawah pimpinan raja yang mulia Raja Nuang Sasih yang memililki kekuasaan dari Empang sampai ke Jerewweh tunduk kepada Kerajaan Majapahit serta memeluk agama Hindu. Sisa – sisa peninggalan ajaran agama Hindu sampai sekarang masih dapat ditemukan dalam praktek kehidupan masyarakat Samawa sehari – hari terutama di desa – desa atau di daerah terpencil. Misalnya mengantar sesajen ke tempat mata air, batu – batu, pohon – pohon kayu yang besar dan lain – lain yang dianggap keramat.
Raja Nuang Sasih memimpin Kerajaan Tana Samawa dengan adil dan bijaksana. Rakyat hidup aman dan tentram serta adil dan makmur.Karena itu raha Nuang Sasih sangat dicintai rakyatnya.
Raja Nuang Sasih memimpin Kerajaan Tana Samawa dengan adil dan bijaksana. Rakyat hidup aman dan tentram serta adil dan makmur.Karena itu raha Nuang Sasih sangat dicintai rakyatnya.
Di suatu pagi yang cerah di ruang sidang Sri Menganti di istana Kerajaan Tana Samawa penuh sesak dengan tentara Kerajaan, hulubalang, para menteri, punggawa, dan panglima kerajaan. Nampaknya akan ada pertemuan dengan raja Nuang Sasih. Tak berapa lama kemudian Raja Nuang Sasih yang bijaksana dan mulia memasuki ruang sidang yang diberi nama Ruang Sidang Sri Menganti itu. Padukan Raja diiringi oleh para pengawal istana yang sakti – sakti. Semua yang hadir memberi hormat yang khidmat kepada Raja Nuang Sasih. Segeralah Raja Nuang Sasih memulai pembicaraan.
“Wahai Panglima” kata Raja
“Daulat Tuanku Syah Alam”, jawab Panglima segera.
“Apakah para pimpinan bala tentara kerajaan, para punggawa,dan para menteri sudah hadir seluruhnya?”, kata Raja Nuang Sasih.
“Ampun yang Mulia, pimpinan, balatentara, para punggawa, dan para menteri kerajaan seluruhnya sudah siap”, jawab Panglima Kerajaan.
Setelah mendengar laporan dari Panglima, Raja Nuang Sasih segera  memberikan Wejangannya.
“Panglima, para menteri, punggawa, serta para pimpinan balatentara kerajaan, maksud dan tujuan kita berkumpul di Ruang Sidang Sri Manganti ini yaitu untuk membicarakan penjagaan dan pengawalan terhadap Puteri Mahkota Kerajaan yaitu Puteriku Lala Baka. Saya perintahkan kepada semua yang hadir untuk dapat menjaga keselamatan puteriku dari perbutan – perbuatan tercela, hingga tidak memalukan kita semua dan seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa ini”, Kata Raja bertitah.
“pengawal!’, Kata Raja memangggil pengawalnya.
‘Daulat Tuanku”, jawab pengawal.
‘Segera panggil puteriku Lala Baka untuk hadir di ruang sidang ini sekarang juga’, ucap Baginda Raja memerintahkan pengawal.
“Daulat Tuanku Baginda Raja”, kata pengawal sambil segera memanggil Lala Baka.
Lala Baka adalah Puteri Mahkota Kerajaan Tana Samawa, yang disanjung dan didambakan oleh seluruh rakyat Tana Samawa. Teristimewa oleh Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih beserta Permaisuri. Tak berapa lama kemudian Puteri Mahkota Lala Baka memasuki ruang sidang Sri Menganti, diiringi dayant – dayang istana dikawal oleh para pengawal untuk menghadap ayahanda tercinta. Setibanya di hadapan Paduka Yang Mulia, Lala Baka beserta pengiring langsung sujud sembah yang menggambarkan ketaatan dan kestiaan puteri mahkota. Setelah itu Baginda Raja memulai pembicaraan.
“Wahai Puteriku tersayang,” kata Baginda memulai pembicaraan.
“Daulat ayahanda tercinta”, jawab Lala Baka.
“Maksud dan tujuanku memanggil engkau menghadapku di ruangan sidang ini adalah aku bermaksud menyampaikan nasihat dan perintahku kepadamu puteruiku. Dan aku ingin agar nasihat dan perintah ini disaksikan oleh para menteri,panglima dan seluruh unsur pimpinan kerajaan”, kata Baginda Raja.
“Daulat ayahanda tercinta”, ucap Puteri Mahkota Lala Baka.
“Begini anakku”, kata Baginda Raja memulai nasehatnya. “Puteri Mahkota adalah merupakan contoh dambaan seluruh rakyat Tana Samawa. Untuk itu aku minta kepadamuperliharalah dirimuagar tidak terjerumus dalam lembah kehancuran. Terlebih –lebih dirimu seorang perempuan dan puteri raja. Jangan sampai kau tergoda oleh rayuan iblisyang jahat. Bersediakah kau puteriku memelihara dirimu?”, ungkap baginda Raja dengan mengajukan pertanyaan.
Lala Baka tertegun dengan ucapan ayahandanya Baginda Raja Nuang Sasih yang mengandung harapan guna menjawab kehormatan keluarga kerajaan itu. Segeralah Lala Baka menjawab pertanyaan baginda raja
“Ampun yang mulia. Hamba bersumpah dan berjanji di hadapan ayahhanda tercinta dan dihadapan seluruh pemerintah kerajaan bahwa hamba akan memelihara diri dan tidak akan memalukan ayahanda beserta ibunda, dan seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa tercinta”. Jawab Putri Mahkota.
Baginda Raja Nuang Sasih dan seluruh yang hadir di ruang sidang mendengar dengan penuh perhatian terhadap ucapan Lala Baka sebagai seorang Putri Mahkota.Kemudian Baginda Raja melanjutkan.
“ Para Menteri, Panglima, dan Punggawa”, kata Baginda Raja
“ Daulat Baginda Raja”, jawab Menteri, Panglima, dan Punggawa serentak.
“ Sudahkan kalian semua mendengar sumpah dan janji puteriku?. Tanya Baginda Raja kepada para Menteri, Panglima, dan Punggawa kerajaan.
“ Daulat Tuanku. Kami semua sudah mengdengar dan menyaksikan . Dan kami semua siap untukmenjaga dan memelihara keselamatan Tuan Puteri, jawab Para Menteri, Panglima, dan Punggawa serentak.
Baginda Raja merasa sangat senang mendengar kesaksian dan kesanggupan segenap Menteri Panglima dan Punggawa untikmenjaga dan memelihara keselamatan Taun Puteri. Kemudian Baginda Raja memandang kepada Puteri Mahkota dan melanjutkan pembicaraan.
“ Tapi ingat apabila Puteriku melanggar segala nasihatku maka aku akan memberikan hukuman yang sangat berat kepadamu Puteriku. Bersediakah kau menerima hukuman?”’ kata Baginda Raja.
“ Daulat ayahanda tercinta, sekiranya hamba melanggar sumpah dan janji maka hukumlah hamba dengan hukuman yang seberat-beratnya. Hamba bersedia kata Puteri Mahkota meyakinkan ayahandanya.
Kabut Kelabu Di Langit Istana.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan bumi terus berputar pada porosnya. Siang berubsah menjadi malam dan malampun berubah menjadi siang. Demikianlah hidup manusia di dunia fanaini. Suatu masa ia bahagia, suatu masa ia menderita. Adakalanya manusia itu sakit. Kehidupan manusia di atas dunia ini selalu berubah ubah.
Setahun kemudian, kerajaan Tana Samawa ditutupi kabut kelabu yang memalukan dan menciderai nama mulia Baginda Raja Nuang Sasih beserta seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa. Putri Mahkota Lala Baka di timpa mala petaka. Ia hamil tiga bulan tanpa nikah . Dan rahasia ini di ketahui oleh Paduka Yang Mulia . Seluruh rakyat berkabung memikirkan nasib Putri Mahkota Lala  Baka yang akan mendapat hukuman berat dari Paduka Yang Mulia. Peristiwa kelabu ini terjadi kira-kira tahun 1480 Masehi, sebelum Agama Islam masuk ke Tana Samawa.
Di suatu pagi yang cerah, di ruang sidang Sri Menganti, Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih dihadapi patih, Panglima, para Menteri dan para Punggawa guna mendengarkan perinah yang harus dilaksnakan. Raja Nuang Sasih memulai pembicaraan.
“ Wahai Patih, Panglima, dan para Menteri, serta para Punggawa pada saat ini kerajaan telah ditimpa kabut kelabu. Tindakan apakah yang harus kulakukan kepada putriku Lala Baka?’ kata Baginda Raja Nuang Sasih meminta pertimbangan.
“ Ampun yang mulia. Segala putusan hamba serahkan kepadaBaginda Yang Mulia. Sedangkan hamba siap melaksanakannya’’, kata salah seorang Menteri.

Putriku telah memberi malu kepada rakyat Tana Samawa. Hukuman yang akan kuberikan pada putriku ialah hukuman yang setimpal dengan perbuatanya”, kata Raja Nuang Sasih.
“ Daulat Tuanku”, kata salah seorang Patih.
“ Wahai Patih dan Panglima bawalah Lala Baka ke tempat pengasingan di dalam sebuah hutan lebat. Hutan itu terletak di sebuah selatan desa Senawang. Di dalam hutan itu ada sebuah gua yang namanya Liang Bedis Untuk menjaga keamanan dalam perjalanan bawalah sepasukan tentara pengawal istana”, titah Paduka Raja.
“Daulat Tuanku Yang Mulia. Hamba akan laksanakan sebagaimana titah paduka Tuanku. Kapan hamba akan laksanakan Yang Mulia?”, jawab Patih.
“Dua hari yang akan datang.Sekarang lakukanlah persiapan”, perintah Baginda Raja kepada Patih Kerajaan.
Menuju Ke Pengasingan
Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Demikian nasib Puteri Mahkota  Kerajaan Tana Samawa Lala Baka yang dirundung  malang atas perbuatannya sendiri. Lala Baka yang selalu hidup bahagia, tenang dan tentram, dikelilingi oleh dayang – dayang istana, kini akan menerima hukuman dari Ayahanda tercinta. Tiga bulan sudah lamanya Lala Baka tidak pernah keluar dari peraduannya.
Sehari sebelum pembuangan dilaksanakan, Kakek tercinta menemui cucunya yang sangat disayanginya itu. Dengan air mata berlinang dengan suara terputus-putus memeluk cucunya yang sangat disayanginya.
“ Cucuku ! Cucuku ! Aku sayang padamu !”, kata Kakek itu terbata-bata.
“ Ampunkan hamba Kek ! Hamba telah berbuat dosa telah melanggar nasihat Ayahanda tercinta. Hamba telah memberi malu keluarga dan seluruh Kerajaan Hukuman apapun yang diberikan oleh Ayahanda akan Hamba Terima dengan hati terbuka”, kata Lala Baka Seraya menitikkan air mata seolah-olah menyesalkan perbuatannya.
“ Sabarlah Cucuku ! Menurut kabar yang kuterima bahwa besok pagi cucuku akan dibawa oleh Patih , Panglima, beserta Pasukan Pengawal Istana ke sebuah hutan lebat sebelah selatan dusun Senawang. Di dalam hutan itu ada sebuah gua namanya Liang Bedis. Di situlah Cucuku akan diasingkan.
“ Benarkah Kek ?”, tanya Lala Baka.
“ Benar Cucuku !”, jawab Kakeknya.
Mendengar jawaban Kakeknya, Lala Baka merasa sangat sedih. Dirinya akan dibuang ke hutan rimba belantara yang sangat jauh dari keramaian. Tentu saja suasananya akan gelap gulita. Tidak ada orang yang akan menolong jika dirinya ditimpa sakit atau kesulitan. Dipandangnya Kakeknya seolah-olah memohon belas kasihan. Lalu katanya.
“ Hamba mohon kepada Kakek berilah hamba bekal guna keselamatan hamba di tempat pembuangan”, kata Lala Baka memelas.
“ Baiklah Cucuku. Demi keselamatan jiwamu, Kakek akan memberikan padamu sebuah azimat yang tidak pernah kuberikan pada ayahmu. Tapi ingat  jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada ayahmu atau siapapun”, kata kakeknya membeerikan harapan dan nasehat.
“Baiklah kek ! Azimat apakah itu Kek?” tanya Lala Baka.
“Inilah Azimat itu cucuku ! Sebuah cincin bernama Cincin Permata Biru. Dalam Permata Biru ini terdapat Jin Raksasa yang akan menghancurkan segala bala dan petaka yang akan mengganggu dirimu. Pakailah cincin ini dan apabila ada yang datang mengganggu maka arahkan permata cincin ini lurus kepada yang datang mengganggu , niscaya musnalah segala gangguan itu,” kata Kakeknya menjelaskan.
“Terima kasih Kek”, kata Lala Baka sambil memasukkan Cincin permata biru itu kr jari masninya yang lentik. “Doakan Hamba selamat ya Kek?”, kata Lala Baka. Keesokan harinya pada pagi hari yang cukup cerah tibalah saat pmbuangan yang telah ditetapkan Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih terhadap Putri Mahkota Lala Baka. Patih, Panglima, dan Pasukan Tentara Pengawal Istana sudah siap. Patih menghadap Puteri Mahkota Lala Baka guna menjemput Lala Baka untuk segera melaksanakn perintah Yang Mulia.
“Ampun Yang Mulia Putri Mahkota. Hamba datang menghadap guna menyampaikan perintah Paduka Raja Yang Mulia”, kata Patih Kerajaan.
“Apakah itu Patih?, tanya Lala Baka seolah – olah belum mengetahuinya.
“Hamba dan panglima beserta seluruh Pasukan pengawal Istana diperintahkan oleh Paduka Yang Mulia untuk menjemput Putri Mahkota untuk dibawa ke Liang Bedis,” kata Patih sesuai dengan perintah Raja Nuang Sasih.
“Ya baiklah ppatih. Aku telah pasrah menerima segala hukuman yang bdiberikan ayahanda padaku. Bawalah aku sekarang juga””, kata Lala Baka pasrah.
Maka naiklah Lala Baka ke atas usungan. Berangkatlah  Lala Baka dan rombongan menuju Selatan Kerajaan Tana Samawa yaitu ke Liang Bedis di wilayah dusun Senawang.
Dalam perjalanan Lala Baka diusung oleh Laskar Pengawal Istana diiringi oleh Patih dan Panglima. Perjalanan itu penuh warna kesedihan yang sangat menyayat hati.
Sekarang merekaberjalan menyusuri sungai BrangBiji yang berhulu di gunung batu Lanteh dan bermuara di laut Labuhan Sumbawa. Setelah sepuluh hari perjalanan sampailah mereka di sebuah tempat, yaitu sebuah padang rumput yang luas. Padang rumput itu bernama Lenang Lengan. Padang rumput tersebut terletak disebelah Barat Desa Lenang Guar, yang jarakbnya kira – kira 12 km dari Lenang Lengan. Lenang Lengan termasuk dalam wilayah Lenang Guar.
Para rombongan membuat perkemahan di Lenang Lengan untuk beristirahat selama semalam. Lala Baka diusung kedalam Kemah dengan cara yang tidak berubah sebagaimana layaknya Lala Baka menjadi Putri Mahkota. Kemudian Patih berucap
“Ampunkah hamba. Kami mohon kepada Puteri Yang Mulia, jangan mempersalahkan kami. Tindakan hamba hanya melaksanakan perintah Paduka Raja Yang Mulia”, kata Patih.
“Oh. Aku telah mengetahui semuanya. Tindakan – tindakan para pembesar kerajaan adalah melaksanakan perintah ayahanda tercinta. Kalian semua tidak bersalah. Tindakan ayahanda kepada diriku memang benar karena aku telah bersalah, memalukan Paduka Yang Mulia, dan seluruh rakyat tana Samawa. Pepatah mengatakan tangan mencencang bahu memikul. Lagipula dulu aku telah bersumpah dan berjanji di hadapan ayahanda. Aku telah melakukan kesalahan maka aku pula yang harus menanggung resikonya”, kata Sang Puteri Mahkota dengan tenang.
Perjalanan selama sepuluh hari, telah menghabiskan bekal mereka. Seluruh rombongan tidak dobolehkan lagi memakan bekal yang ada. Patih berusaha melaporkan keadaan kepada Puteri Mahkota.
“Wahai Puteri mahkota. Sekarang setelah sepuluh hari dalam perjalanan, persiapan bekal telah habis. Seluruh rombongan tidak dibolehkan lagi memakan bekal yang masih tersisa. Karena itu hal ini untuk sekedar diketahui oleh Tuan Puteri”, lapor Patih kepada Lala Baka.
Lala Baka termenung sejenak. Lalu kemudian meminta kepada Patih dan seluruh Menteri yang ada di dalam kemah untuk keluar.
“Kupinta kepada semua yang hadir dalam kemah ini untuk keluar, karena saya ingin beristirahat “, ujar Lala Baka.
Maka segeralah Patih dan para Menteri yang ada di dalam kemah keluar dari kemah. Mereka maklum bahwa sang Puteri dalam keadaan kelelahan. Sekarang biarkan sang Puteri beristirahat untuk menjaga supaya tidak sakit. Didalam kemah, Lala Baka teringat akan Cincin Permata Biru pemberian kakeknya itu. Lala Baka lalu mencoba kekuatan gaib cincin itu apakah memang benar sakti dan dapat memberikan bantuan dalam mengatasi masalah. Lala Baka mengangkat lengannya, ditatapnya cincin Permata Biru itu sambil berkata.
“Ampun Kek !. Kiranya Kakek dapat menangkap seekor menjangan besar untuk lauk pauk kami dalam perjalanan ini”, ucap Lala Baka kepada Cincin Permata Biru itu. Alangkah anehnya, dari cincin itu keluarlah Jin Raksasa yang siap melaksanakan perintah Tuan Puteri. Segera setelah sang Puteri memerintahkan maka Jin Raksasa itu langsung masuk hutan tanpa ada seorangpun yang dapat melihatnya kecuali sang Puteri Lala Baka. Jin Raksasa segera menangkap kijang yang besar,lalu kijang itu dibawa ke perkemahan. Tidak ada yang melihat Jin Raksasa itu. Patih dan para Menteri melaporkan bahwa ada kijang jantan besar masuk ke perkemahan.
“Sembelilah kijang itu,” ujar Lala Baka kepada para Menteri.
Alangkah gembiranya seluruh rombongan pada malam itu. Mereka makan malam dengan lauk daging menjangan yang enak dan gurih. Setelah makan malam mereka beristirahat tidur. Patih dan para Menteri terlibat dalam pembicaraan yang serius perihal nasib Kerajaan Tana Samawa yang ditutupi kabut kelabu. Lebih – lebih mereka semuanya merasa iba akan nasib sang puteri Mahkota. Tetapi tak banyak hal yang dapat dilakukan selain menjalankan perintah Paduka Yang Mulia Baginda Raja Nuang Sasih.

Keharuan Di Liang Bedis
Keesokan harinya berangkatlah segenap rombongan mengikuti arus Brang Kreto, Brang Kemang Menir, Brang Punik, dan Brang Sakal. Setelah lima hari perjalanan sampailah mereka disebuah hutan rimba belantara yang lebat. Mereka memasuki hutan itu hingga sampailah ke tempat yang dituju yaitu Liang Bedis. Sesampainya di Liang Bedis, maka Patih melaporkan kepada Tuang Puteri.
“Ampun Tuan Puteri Yang Mulia, disinilah tempat yang diperintahkan oleh Baginda Raja sebagai tempat tinggal Tuan Puteri untuk selama – lamanya.Kami mohon agar Tuan Puteri sabar dalam menjalani cobaan yang berat ini. Kami seluruh rombongan senantiasa mendoakan agar Tuan Puteri senantiasa beroleh keselamatan di tempat ini”, kata Patih mernyampaikan isi hati seluruh rombongan.
“Terima kasih aku ucapkan kepada Patih,Para Menteri, Para Punggawa, dan para Pengawal Istana serta seluruh rombongan lainnya, yang telah sudi dan bersusah payah mengantarkanku ke tempat ini. Sekarang kalian semua kembalilah ke Istana dan kudoakan semoga semua sampai dengan selamat kembali ke istana kerajaan ujar Lala Baka dengan sedih.
Segenap anggota rombongan terharu mendengar ucapan Lala Baka, yaitu Puteri Kerajaan yang selama ini akrab dan dicintai rakyatnya. Tak terasa seluruh rombongan menitikkan air mata pertanda ada goresan luka di dada tas nasib yang menimpa Tuan Puteri. Sebelum mereka berangkat pulang, kembali Lala Baka berpesan kepada Patih dan Para Menteri.
“Paman Patih dan seluruh Menteri. Sampaikan salam hormatku dan permohonan maafku yang terakhir kepada ayahanda Baginda Raja dan juga kepada bunda tercinta Permaisuri. Salam hormatku juga untuk Kakekku juga untuk seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa. Siapa tahu perpisahan ini merupakan perpisahan untuk selama – lamanya”, ujar Lala Baka. Tak terasa seusai mengucapkan kata – kata itu Lala Baka menangis sesenggukan. Sebagai manusia ada berbagai rasa yang menyelinap di dalam dada. Rasa sedih dan duka, ekahruan, kerinduan, penyesalan dan lainnya. Tetapi itulah suratan takdir yang sudah terjadi atas diri seorang anak manusia.
“Tuan Puteri sekarang kami moho pamit”, kata Patih mengakhiri perjumpaan itu. Selanjutnya seluruh rombongan kembali pulang meninggalkan Sang Puteri sendirian di dalam hutan rimba belantara yang lebat dan angker itu.
Lahirnya Sang Putera
Lala Baka tinggal sebatangkara di hutan lebat di dalam gua Liang Bedis. Dunia terus berputar mengikuti takdirnya, waktu berjalan bagaikan air mengalir, berbagai peristiwa terjadi di atas dunia ini. Berbagai peristiwa terjadi di atas dunia ini. Namun Lala Baka tidak banyak tahu tentang peristiwa itu karena dirinya terasing dalm suatu dunia yang hampir – hampir tak terjamah manusia. Lala Baka menjalani hidup dan kehidupannya dengan susah payah. Kondisi kehamilannya yang kian bertambah besar cukup menylitkannya. Segala pekerjaan dikerjakan sendiri. Tetapi lama kelamaan Lala Baka menjadi terbiasa. Dia mencoba menikmati segala duka derita yang dialaminya. Temannya hanyalah kesendirian. Kesunyian hutan kini sangat akrab dengan dirinya. Suara air mengalir, desir angin yang bertiup dicelah pepohonan, kicau burung di puncak pepohonan, dan suara lenguh binatang penghuni hutan telah menjadi nyanyian alam yang akrab dengannya dan menghibur hatinya. Tidak terasa telah enam bulan lamanya Lala Baka tinggal sendirian di Liang Bedis. Usia kandungannya telah memasuki bulan kesembilan. Berarti tak lama lagi ia akan melahirkan anak yang sekarang dikandungnya itu. Satu- satunya yang bisa diminta bantuannya adalah Jin Raksasa yang bersemayam di dalam Cincin Permata Biru yang menghiasi jari maninya itu. Segala keparluannya dilayani oleh Jin Raksasa yang setia kepada segala perintahnya.
Akhirnya tibalah saat melahirkan. Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa Lala Baka melahirkan seorang putera dengan selamat. Putera yang dilahirkannya itu sungguh sangat tampan. Wajahnya yang manis manja dan ceria memberikan kesejukan kepada Lala Baka sebagai ibunya. Ditatapnya puteranya itu lalu diciumnya sambil mengucapkan kata- kata sayang. Tak terasa Lala Baka tenggelam dalam keharuan. Setitik air mata jatuh dipipinya, seolah- olah ia ingin membagi duka dengan puteranya yang masih bayi itu. Sekarang harapan hidupnya telah lahir. Lala Baka senantiasa berdoa kepada Yang Maha Kuasa untuk diampunkan segala dosa dan kesalahannya. Dan semoga anak yang dilahirkan ini kelak akan menjadi manusia yang berguna.
Beberapa hari setelah melahirkan, Lala Baka bermaksud memberi nama kepada puteranya. Teringat ia akan amanat kakeknya dulu, jika sang buyut telah lahir maka berilah dia nama Lalu Adal. Sesuai dengan amanat kakeknya itu maka Lala Baka memberi nama anaknya Lalu Adal. Selanjutnya kehidupan Lala Baka dan puteranya di Liang Bedis berjalan aman, tenang dan tentram.
Pertemuan Dengan Pen Batang
Disuatu pagi yang cerah datanglah seorang  pemburu kehutan itu. Pemburu itu datang untuk memburu rusa. Namanya Pen Batang dari Dusun Senawsang. Tiba- tiba Pen Batang menjadi heran karena ditemuinya jalan setapak menuju anak sungai. Pen Batang mencoba mengikuti jalan setapak itu ke arah sungai. Sesampainya di sungai Pen Batang bertambah hetan, karena terdapat bekas mandi manusia. “Hm. Selama hidupku datang berburu ke tempat ini belum pernah berjumpa dengan manusia” bisik Pen Batang kepada dirinya sendiri. Rasa ingin tahu Pen Batang mendorongnya untuk kembali mengikuti jalan setapak itu menuju ke lereng gunung tersebut. Kira-kira 25 meter dari anak sungai ditemuinya sebuh gua. Diperhatikannya gua itu dengan teliti dan hati-hati. Pen Batang mengendap perlahan- lahan mendekati gua itu. Tiba- tiba dari dalam gua terdengar suara.
“Apakah tujuan kakek datang kemari?” tanya suara dari dalam gua.
Pen Batang terkejut luar biasa karena suara yang datang menyapanya dari dalam gua itu adalah suara seorang perempuan muda, suara yang lembut dan kedengaran ramah. Pikir Pen Batang jangan-jangan suara itu bukan suara manusia tapi suara mahluk halus penghuni gua itu. Tetapi Pen Batang segera juga menjawab pertanyaan yang datangnya dari dalam gua itu.
“Oh….ya. Aku datang kemari untuk berburu rusa”, kata Pen Batang agak ketakutan.
“Masuklah dulu ketempatku ini kek”, kata Lala Baka melanjutkan.
“Terima kasih nak” kata Pen Batang. Kemudian masuklah Pen Batang ke dalam gua Liang Bedis itu. Lala Baka menerima kehadiran orang tua itu dengan ramah sambil menggendong puteranya.
“Kalau aku boleh tahu, Siapakah nama cucuku yang masih bayi inianak ku?” tanya Pen Batang ingin tahu.
“Oh…..ya Kek. Cucu Kakek ini namanya Lalu Adal”, jawab Lala Baka.
Begitu mendengar nama itu disebut oleh Lala Baka maka  Pen Batang segera bersujud di hadapan Lala Baka.
“Ampun Yang Mulia. Sekali lagi ampunkan hamba yang telah lancang mengganggu ketenangan Tuan Puteri Yang Mulia”, kata Pen Batang setelah tahu siapa sesungguhnya yang ada di depannya sekarang.
Melihat Pen Batang sujud, Lala Baka segera melanjutkan.
“Oh. Tenanglah Kek. Hamba adalah manusia biasa. Hamba datang ketempat ini untuk menyelamatkan diri”, kata Lala Baka sambil menarik kakek itu untuk duduk seperti biasanya.
Kemudian Pen Batang melanjutkan pembicaraan.
“Telah tersebar kabar bahwa Baginda Raja Kerajaan Tana Samawa telah membuang Putri Mahkota kerajaan kesuatu tempat dihutan yang lebat. Peristiwa itu terjadi sekitar tujuh bulan yang lalu. Jadi hamba dapat pastikan Tuan Putri Yang Mulia adalah Putri tunggal Baginda Raja Nuang Sasaih, Raja Tana Samawa ini”, ujar Pen Batang.
“Saya mohon pada kakek, untuk jangan sekali-kali membuka rahasia ini kepada siapapun”, kata Lala Baka kepada Pen Batang.
“Ampun Tuanku. Hamba akan menjunjung tinggi titah Tuan Putri. Haba tidak akan menceritakan kepada siapapun”, jawab Pen Batang serius.
“Baiklah Kek. Tadi kakek mengatakan datang ketempat ini untuk berburu rusa. Apakah kakek sudah memperoleh hasil buruan?” tanya Lala Baka.
“Ya. Tuanku. Hamba datang untuk berburu. Tetapi rupanya anjing pemburu yang hamba bawa dalam keadaan lemah sehingga tak seekorpun menjangan atau rusa yang hamba peroleh”, kata Pen Batang menjawab pertanyan Lala Baka.
Mendenar jawaban Pen Batang, Lala Baka Permisi sebentar ke bagian dalam gua itu. Maka Lala Baka membisikkan kepada Cincin Permata Birunya itu.
“Kakek. Tangkaplah seekor menjangan besar untuk kuhadiahkan kepada kakek pemburu itu”, kata lala Baka memerintahkan kepada Jin Raksasa.
Maka keluarlah Jin Raksasa dari Cincin Permata Biru pergi menangkap seekor menjangan besar. Setelah Lala Baka memberikan perintah maka Lala Baka kembali menemui Pen Batang ke teras depan gua. Tak berapa lama kemudian Jin Raksasa telah kembali dengan membawa seekor menjangan besar.
“kek. Itulah menjangannya sebagai pemberian dariku. Silahkan kakek menyembelihnya dan membawanya pulang”, kata Lala Baka.
Pen Batang heran menyaksikan kejadian yang aneh itu. Dia semakin menghormati Tuan Putri Lala Baka. Rupanya Tuan Putri ini memiliki kesaktian.
“Terima kasih Yang Mulia”, hormat Pen Batang.
“Datanglah selalu ketempat ini untuk menjunguk cucu ya kek? Ujar Lala Baka mengharap.
“Baiklah yang mulia. Hamba akan selalu datang menjenguk cucu hamba ini”, jawab Pen Batang.
“Tetapi saya mohon kepada kakek untuk jangan sekali-kali membuka rahasia bahwa aku berada ditampat ini” Lala Baka meminta.
“Hambah bersumpah. Tidak akan hamba katakan kepada siapapun juga”,jawab Pen Batang sungguh-sungguh.
“Terima kasih Kek”, ujar Lala Baka singkat.
“Kalau begitu hamba pamit Yang Mulia, supaya sebelum hari malam hamba telah sampai ketujuan”, kata Pen Batang berpamitan.
Demikianlah kehidupan Pen Batang dari hari kehari mengambil menjangan ke Liang Bedis. Kejadian itu telah berlangsung selama tiga tahun. Karena tingkah laku dan tindak tanduk yang ramah dari Lala Baka sehingga inginlah Pen Batang beserta istrinya untuk tinggal bersama Lala Baka didalam gua Liang Bedis.
Pada tahun 1483 Pen Batang beserta istrinya datang ke Liang Bedis untuk tinggal bersama Puteri Mahkota Kerajaan – Lala Baka. Pen Batang beserta istrinya diterima oleh Putri Mahkota dengan perasaan senang dan gembira. Untuk menjamin kelangsungan hidup Pen Batang maka setiap hari menbawa daging menjangan untuk dijual ke Dusun Senawang, Sebeok, dan Kelawis. Itulah pencaharian Pen Batang selama tiga tahun lamanya.
Perintah Dalam Mimpi
Pada tahun 1486 suatu malam Lala Baka bermimpi diperintahkan oleh leluhurnya untuk pindah dari Liang Bedis menuju arah utara mengikuti arus sungai Brang Sakal, Brang Punik, Brang Kemang Menir, dan Brang Kreto. Setelah Lala Baka sadar dari mimpinya, lalu segera membangunkan Pen Batang beserta istrinya guna menceritakan mimpinya.
“Kek. Saya bermimpi bahwa leluhurku memerintahkan hamba untuk pindah dari Liang Bedis ini menuju utara melalui dan menyuusuri aliran sungai Brang Sakal, Brang Punik, Brang Kemang Menir, dan Brang Kreto”, kata Lala Baka menceritakan.
“Jika demikian mimpi Tuan Putri maka laksanakanlah. Jangan ragu-ragu”, jawab Pen Batang.
“Terima kasih Kek. Kalau begitu maka sebaiknya kita segera saja berangkat pada besok pagi”, kata Lala Baka.
Setelah lima hari berjalan Putri Lala Baka beserta putranya Lalu Adal yang masih berumur enam tahun dengan diiringi oleh Pen Batang beserta istrinya; Sampailah mereka di hulu sungai Brang Kreto. Lala Baka tampaknya sudah tidak kuat lagi berjalan.
“Buatlah kemah kek. Carilah daun-daun kayu untuk menjadi atapnya untuk tempat tinggal kita bersama”,kata Lala Baka kepada Kakek Pen Batang.
“Baiklah Tuan Putri”, jawab Pen Batag. Maka segeralah pen Batang Bekerja keras untuk membuat rumah yang sederhana. (Sampai sekarang tempat itu, oleh masyarakat Lenangguar, Dusun Teladan, Dusun Kuang Jeringo, diberi nama Arung Ramolong).
Setelah selama lima belas hari mereka berada di tempat tersebut Lala Baka dikejutkan oleh putranya Lalu Adal yang meminta kepada ibunya untuk diijinkan melihat Kerajaan Tana Samawa.
“Ibu. Hamba ingin melihat Kerajaan Tana Samawa, serta ingin menyaksikan Putra Mahkota Kerajaan Tana Samawa secara langsung. Dan hamba ingin melihat Baginda Raja Nuang Sasih yang merajai Kerajaan Tana Samawa itu”, pinta Lalu Adal kepada ibunya Lala Baka.
“Oh… anakku Lalu Adal yang kusayangi. Janganlah kamu mimpi sayang. Tidak mungkin kau dapat bertemu dengan Raja Nuang Sasih dan Putera Mahkota. Cita-citamu terlalu tinggi”, jawab Lala Baka kepada puteranya.
“Kenapa tidak mungkin Bu?”, tanya Lalu Adal lebih lanjut.
“Karena kita ini adalah manusia yang hina dina, lagi pula kau masih kecil sayangku”, jawab Lala Baka menjelaskan.
“Bu ijinkanlah aku pergi bu. Kalau ibu tidak mengijinkan maka lebih baik aku mati saja. Aku akan bunuh diri”, kata Lalu Adal kepada ibunya.
Mendengar itu Lala Baka sangat masygul. Anaknya itu masih terlalu kecil lagi pula kerajaan itu masih sangat jauh letaknya. Perlu waktu beberapa hari untuk sampai kesana. Selain itu Lala Baka kuatir jangan-jangan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri Lalu Adal anak satu-satunya itu. Lama juga Lala Baka berpikir dan menimbang-nimbang. Akhirnya sampailah Lala Baka pada kesimpulan./
“Lalau Adal anakku. Jika kau bersikeras untuk dergi ke Kerajaan Tana Samawa maka ibu akan mengijinkanmu”, kata Lala Baka kepada putranya itu.
Maka senanglah hati Lalu Adal. Anak kecil itu bersukaria melompat-lompat tanda gembira. Maka dipeluknya ibunya itu.
“Terima kasih Bu” kata Lalu Adal sambil memeluk ibunya. Ibuna merasa sangat bahagia menyaksikan buah hatinya itu dalam keadaan yang gembira.
Lala Baka kemudian memanggil Kakek Pen Batang.
“Pen Batang, Kemarilah”, panggil Lala Baka.
“Daulat Tuan Putri”, jawab Pen Batang.
“Cucu kakek ini ingin melihat Kerajaan Tana Samawa secara dekat. Bawalah Cucu kakek kesana dan peliharalah sebaik-baiknya agar dia selamat. Sekarang persiapkanlah suatu bekal untuk diperjalanan”, kata Lala Baka.
Pen Batang yang disebut Kakek oleh Lala Baka itupun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Perjalanan menuju Kerajaan Samawa akan dilaksanakan besok pagi. Sementara itu Lala Baka memanggil anaknya Lalu Adal.
“Lalu Adal anakku. Besok kau bersama kakekmu Pen Batang akan berangkat menuju ke Kerajaan Tana Samawa. Selama di perjalanan kamu akan bertemu dengan banyak orang. Bersikaplah yang baik dan sopan” kata Lala Baka memberikan nasehat kepada Lalu Adal.
“Baik Bu, hamba akan selalu melaksanakan nasehat ibu”, jawab lalu adal. Kemudian Lala Baka meneruskan pembicaraan.
“Apabila nanti ada orang yang mengganggumu atau ada bahaya yang akan mengancam maka perlihatkan cincin permata biru ini, niscaya bahaya dan ancaman atau musuh akan musnah. Ambillah cincin ini anakku”, kata Lala Baka sambil memberikan cincin itu kepada anaknya.
“Terima kasih Bu”, kata Lalu Adal sambil menerima cincin itu dan dipasangkan pada jari manisnya. Cincin itu memang ajaib, karena selalu pas di jari orang yang memakainya.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar  Lalu Adal telah bangun menunggu saat keberangkatannya. Ia tampak sangat gembira. Dimasukkan bekal makanan diperlukan selama dalam perjalanan. Ketika matahari sudah sepenggal naik maka Lalu Adal beserta Kakeknya Pen Batang berangkat menuju Kerajaan.
“Selamat Jalan Pen Batang dan selamat jalan Putraku”, kata Lala Baka mengiring keberangkatan putranya itu.
“Selamat tinggal Bu. Doakan hamba dalam perjalanan ini”, kata Lalu Adal sambil melambaikan tangannya kepada ibunya .
Lala Baka memandang terus kepada anaknya dan Pen Batang yang telah mulai melangkah sampai mereka hilang dari pandangannya. Dalam hatinya Lala Baka terus memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar anaknya terlindung dalam perjalanan.
Pen Batang beserta Lalu Adal berjalan naik gunung turun gunung. Akhirnya sampailah mereka dipadang rumput yang luas yang bernama Lenang Lengan. Disitulah dulu Lala Baka pernah beristirahat ketika dalam perjalanan menuju ke Liang Bedis. Pen Batang dan Lalu Adal beristirahat dan menginap di Lenang Lengan itu.
Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan menuju Kerajaan Tana Samawa. Mereka melalui jalan antara Olat Utuk dan Olat Lawang, yang merupakan pintu gerbang jalan dari Sumbawa ke Orong Telu. Singkat cerita setelah berjalan tujuh hari lamanya sampailah Pen Batang dan Lalu Adal di Tiu Sepadang artinya tempat menghadang. Yang dimaksud bukan menghadang musuh, tetapi tempat masyarakat Kerajaan Tana Samawa menunggu kedatangan masyarakat dari Lunyuk, Orong Telu, dan Batulante untuk tukar menukar barang karena pada masa dulu cara berdagang dengan cara barter. Jadi Tiu Sepadang merupakan pasar bagi Kerajaan Tana Samawa.

Kesaktian Cincin Permata Biru
Pen Batang dan Lalu Adal masuk ke sebuah gubug, sambil menyaksikan para pedagang tukar menukar barang. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suar seruling dan gendang bertalu-talu menuju Tiu Sepadang. Lalu Adal mendengar suara bunyi-bunyian itu dan lantas bertanya kepada Kakeknya.
“Suara apakah itu kek?”, tanyanya kepada kakeknya.
“Kata orang yang ramai berdagang ini, Putera Mahkota Kerajaan Tana Samawa turun mandi guna menghibur diri”, kata Pen Batang kepada Lalu Adal.
“Wah. Alangkah bahagianya menjadi Putra Raja ya Kek?”. Kata Lalu Adal.
“Benar Cucuku”, jawab Pen Batang.
Suara bunyi-bunyian itu semakin keras. Tidak lama kemudian tampaklah dari kejauhan iring-iringan kereta kencana dan orang-orang yang berpakaian bagus. Lalu Adal memandang dengan penuh keheranan. Kemudian.
“Apakah itu kek?”, sambil menunjuk kepada kereta kencana.
“Itu adalah kereta kencana, yang merupakan kereta yang dipergunakan untuk membawa Putra Makota ke sungai atau kemana saja Putra Mahkota itu akan pergi”, jawab Pen Batang.
“Oh. Jadi orang yang ada di dalam kereta kencana itu adalah Putra Mahkota?” tanya Lalu Adal lebih lanjut.
“Ya” jawab Pen Batang singkat.
“Siapakah pula manusia yang banyak di belakang kereta kencanan itu kek. Dan mereka berpakaian yang bagus sekali”, tanya Lalu Adal lebih lanjut.
“Itu adalah Patih, Panglima, Punggawa, yang merupakan pembesar kerajaan, dan mereka diiringi oleh bala tentara Kerajaan guna menjaga keamanan Putra Mahkota”, jawab Pen Batang.
“Bahagia sekali menjadi Putra Raja, jauh sekali cara hidupnya dengan rakyat jelata”, kata Lalu Adal mengomentari.
Putra Mahkota turun dari kereta kencana untuk mandi, menghibur diri, bersenang-senang dengan para menteri serta para menterinya. Lalu Adal memandang terus kepada rombongan Putra Mahkota itu. Dalam hatinya saatnya sekarang untuk mencoba kesaktian Cincin Permata Biru miliknya.
“Kek. Ambil Putra Mahkota dan bawa terbang setinggi pohon kelapa”, perintah Lalu Adal kepada Jin Raksasa.
Tidak lama kemudian keluarlah Jin Raksasa mengambil Putra Mahkota yang sedang mandi. Putra Mahkota itu dibawa terbang setinggi pohon kelapa. Terbang kesana kemari sesuai dengan perintah dari Lalu Adal. Melihat peristiwa itu maka paniklah semua pengawal. Semua bala tentara berusaha menyelamatkan putra Mahkota tetapi mereka jatuh tunggang langgang terlempar karena didorong oleh jin raksasa. Para Mentri dan Punggawa menjadi panik karena Putra Mahkota tetap melayang-layang setinggi pohon kelapa. Mereka kuatir kalau-kalau putra Mahkota terlempar jatuh dan tewas terbentur batu-batu yang banyak di sungai itu.
Ditengah-tengah kepanikan tersebut Lalu Adal bertindak. Memerintahkan Jin Raksasa Untuk membawa Putra Mahkota kedepannya. Jin Raksasa segera membawa Putra Mahkota kepada Lalu Adal. Kemudian Lalu Adal menyerahkan Putra Mahkota itu kepada pati.
“Terima kasih anak ku. Kau telah dapat menyelamatkan Putra Mahkota dari bahaya maut. Jika kau tidak ada tentu Putra Mahkota telah tewas. Maka celakalah kami semua, karena pastilah Baginda Raja akan murka”, kata patih kepada Lalu Adal.
Atas kejadian dan peristiwa itu pihak pengawal Putra Mahkota tidak ingin berlama-lama ditempat itu. Mereka segera pulang kembali ke kerajaan. Mereka khuatir jangan-jangan Jin Raksasa itu kembali mengganggu Putra Mahkota. Sesampainya di Istana mereka segera menyampaikan peristiwa yang telah terjadi.
“Ampun Yang Mulia. Putra Mahkota Kerajaan hampir saja tewas dibawa terbang oleh Jin. Bala bahtera kerajaan telah berusaha menyelamatka Putera Mahkota. Tetapi usaha mereka sia- sia karena kekuatan Jin itu sungguh dahsat di tengah- tengah kepanikan itu, Muncul seorang anak kecil kira- kira berumur enam tahun.
Anak kecil itulah yang berhasil menyelamatkanPutera Mahkota dan menyerahkanya kepada hamba “, Kata Patih melaporkan kapada Baginda Raja.
 “ Dimana anak tersebut ?”. tanya baginda Raja.
 “ Di Tiu Sepadang Yang Mulia”. Jawab Patih.
 “ Ambil anak tersebut dan bawa diakemari “, titah Raja.
 “ Daulat Tuanku, hamba akan laksanakan “, jawab Patih.
Segeralah Patih menuju  Tiu Sepadang guna menemui Lalu Adal yang telah menyelamatkan  Putera Mahkota dari bahaya maut. Sesampainya di Tiu Sepadang Patih segera mencari dan menemui Lulu Adal.
 Hai anak kecil . Saya diperintahkan oleh Pahduka Yang Mulia untuk membawamu menghadap ke Istana guna memperkenalkan dirimu kepada Raja “, kata Patih Kepada Lalu Raja.
 Wahai Patih. Sampaikan Salamku Kepada Raja. Aku tak ada keperluan untuk menghadap Raja . Tetapi kalau Raja ada keperluan padaku , datanglah Raja menghadap kepadaku “, Kata Lalu Adal.
 Patih yang diutus oleh Baginda Raja sangat kesal. Lebih- lebih mengingatkata-kata yang diucapkan oleh anak kecil itu sungguh sangat menghina. Tetapi Patih tidak dapat berbuat banyak selain harus pulang dengan tangan hamba . Tetapi apa yang diucapkan oleh anak kecil itu tetap akan di sampaikan kepada baginda Raja Yang Mulia.
 “ Mana anak kecil itu Patih ?, tanya Baginda ketika Patih datang menghadap.
 “ Anak kecil tersebut membangkang Yang Mulia. Katanya aku tidak ada.
 Keperluan dengan Raja . Bila Raja ada keperluan denganku maka menghadaplah Raja kepadaku. Demikaian kata anak kecil itu Baginda “, lopor Patih kepada Baginda Raja  Nuang Sasih.
 Raja Nuang Sasih sangat murka. Tidak pernah ada orang sebelumnya yang berani membangkang atas perintahnya.
 “ Kurang ajar ! Akan kuberi pelajaran anak tersebut. Siapkan Kereta Kencana “ kata Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih.
 Maka segeralah Kereta Kencana di siapkan. Berangkatlah Yng Mulia menuju Tiu Sepadang, dengan diiringi Bala Tentara Kerajaan untuk menghukum anak kecil yang membangkang itu. Setibanya di Tiu Sepadang. Patih menunjukkan si anak kecil yang akan di hukum itu.
 “ Hai anak kecil ! Terlalu kurang ajar kau. Sekarang akan kuberi pelajaran padamu ! “, kata Raja membentak.
 “ Wahai Raja yang mulia ! Sekiranya Raja masih memiliki rasa malu Raja tidak akan berlaku seperti ini terhadap ku. Tetapi jika Raja tetap bermaksud menghukummu maka akupun terpaksa melawan “, jawab Lalu Adal dengan mantap.
 “ Ketahuilah wahai anak kecil  !. Tak seorangpun yang berada di wilayah kekuasaanku ini yang berani yang membangkang atas apa yang telah aku perintahkan sekarang kau berani melawanku maka aku pun terpaksa  menghukummu  “, kata Raja Nuang Sasih Murka.
 Sejurus kemudian Raja Nuang Sasih yang juga memiliki kesaktian yang tinggi telah bessiap untuk menyerang. Sedangkan Lalu Adal juga memperhatikan gelagat bahwa Raja tidak main-main dan telah siap untuk menyerang dirinya. Kemudian Lalu Adal mengangkat lengannya dan mengarahkan Cincin Permata Biru pembelian Ibunya itu ke arah Raja. Lalu Adal  telah siap untuk menyerang dirinya . Kemudian Lalu Adal menangkat lengannya dan mengarahkan Cincin Permata Biru pembelian Ibunya itu kearah Raja. Lalu Adal telah siap untuk memberikan perintah kepada cincinya itu.
 Pada saat Cincin Permata Biru itu diarahkan kepada Raja tampaklah oleh Raja Sinar kebiru- biruan memancar dari cincin itu. Sinar itu seakan-akan mengandung kekuatan yang luar biasa . Sekujur tubuh Baginda Raja Nuang Sasih gemetar seolah-olah  tenaga yang dimikianya telah  habis. Dalam keadaan seperti itu Baginda Raja Nuang Sasih bertanya dalam hatinya, siapakah gerangan anak kecil yang sakti ini. Lalu Baginda turun dari Kereta Kencana seraya bertanya.
 “ Wahai anak kecil. Kepunyaan siapakah cincin itu ?” tanya Bagiinda Raja.
 “ Cincin ini berada di tanganku maka berarti cincin ini adalah milikku !” jawab Lalu Adal.
 “ Dan dimanakah Ibumu ?”, tanya Raja Nuang Sasih selanjutnya.
 “ Ibuku telah meninggal dunia !” jawab Lalu Adal merahasiakan tentang ibunya.
 Tampaknya Raja Nuang Sasih telah mengetahui bahwa anak kecil yang ada di hadapannya itu tidah lain adalah cucunya putera dari lala baka yang selama tujuh tahun telah di buang ke hutan belantara disebuah gua yang bernama Liang Bedis. Raja Nuang Sasih mendekati cucunya itu kemudian bertanya.
 “ Wahai anak kecil siapakah namamu dan siapakah nama Ibumu ?” tanya Raja Nuang Sasih untuk memantapkan keyakinannya.
 “ Namaku Lalu Adal dan Ibuku bernama Lala Baka “, jawab Lalu Adal Polos.
 “ Maka langsung saja Baginda Raja Nuang Sasih memeluk Lalu Adal.
 “ Oh. Kau adalah cucuku. Maafkanlah aku cucuku. Aku adalah kakekmu !” kata Baginda Raja.  “ Sekarang Cucuku ikuti aku kau tinggallah  di Istana Kerajaan  “ lanjut Raja mengajak cucunya.
 “ Hamba mau ke istana, tetepi bawalah kakemu Pen   Batang, karena beliaulah yang telah merawat dan memeliharaku beserta Ibuku “, kata Lalu Adal.
 Maka berangkatlah Lalu Adal beserta Pen Batang dengan menaiki Kereta Kencana bersama Raja Nuang Sasih. Sesampainya di istana, penuh sesak istana kerajaan di kunjungi oleh rakyat kerayaan. Mereka ingin menyaksikan putera Lala Baka rakyat tahu rakyatnya penuh sesak di Istana maka Raja Nuang Sasih barsabda.
 “ Wahai seluruh rakyatku. Anak kecil yang duduk di haribaanku ini adalah cucuku bernama Lalu Adal. Dan orang tua yang ada di sampingku  ini adalah Batang. Dialah yang telah memelihara Lala Baka dan cucuku Lalu Adal di tempat pembuangan Liang Bedis.”
     Suasana kerajaan memang ramai selama beberapa hari. Lalu Adal merasa sangat senang melihat-lihat istana yang indah. Dia sangat disayangi oleh keluarga istana. Baginda Raja Nuang Sasih nampaknya ingin segera mengetahui dengan pasti bagaimana keadaan Putri Mahkota Lala Baka. Pada suatu pagi yang cerah Baginda Raja memanggil Pen Batang untuk berbincang-bincang tentang kehidupan Lala Baka selama dalam perawatan Pen Batang.
      “Wahai Pen Batang. Apakah benar putriku Lala Baka telah meninggal ?.Ataukah masih hidup?”, tanya Raja Nuang Sasih.
        “Ampun yang Mulia. Putri Mahkota Kerajaan masih hidup. Sekarang Tuan Puteri berada di Arung Ramolong , tepatnya di Paruwak Dope Ramas dan dalam keadaan yang sehat”,jawab Pen Batang.
         “Oh,jadi putriku masih hidup?jika demikian maka putriku itu harus segera dijemput”,sambung Raja Nuang Sasih.
         Mengetahui bahwa tuan puteri masih hidup dan sehat ,maka Raja Nuang Sasih segera memerintahkan kepada patih kerajaanuntuk menjemputnya . Penjemputan itu dilaksanakan pada hari itu juga. Dalam penjemputan itu Baginda Raja Nuang Sasihikut serta.
           Setelah segala sesuatu dipersiapkan, maka berangkatlah Yang Mulia Raja Nuang Sasih diiringi oleh patih dan panglima kerajaan beserta pasukan tentara menuju ke Arung Ramolong.Perjalanan rombongan mengikuti daerah aliran sungai Brang Biji ke huludan membelok ke arah Dusun Kareke. Pada hari ke-tujuh sampailah rombongan di Lenang Lengan yaitusebuah padang rumput yang luas. Mereka beristirahat sebentar , kemudian melanjutkan perjalanan menuju Arung Ramolong melalui Paruwak Dope Ramas. Tidak lama kemudian sampailah rombongan kerajaan di Arung Ramolong , tepatnya  tempat Lala Baka berada sekarang di Paruwak Dope Ramas. Baginda Raja melihat ada sebuah gubuk dekat sungai Brang Kreto.
            Di dalam gubung , Lala Baka dan Nenek (istri Pen Batang). Sedang bercakap-cakap.Tiba-tiba mereka berdua melihat ke arah datangnya rombongan .
            “ Rombongan apakah kiranya yang menuju ke tempat kita ini Nek? “, tanya Lala Baka.
             “ Kalau aku tidak salah lihat, bukankah anak yang ada dalam juli (usungan) itu adalah cucuku Lalu Adal”, kata sang Nenek.
             “ Benar Nek. Ini cucu Nenek. Dan yang sebelahnya adalah ayahanda tercinta Raja Nuang Sasih Raja Kerajaan Tanah Samawa. Apakah gerangan tujuan Yang Mulia datang ke tempat ini Nek ?”, kata Lala Baka diliputi berbagai macam tanda tanya.
                “ Entahlah anakku. Hamba tidak tahu”, jawab sang nenek.
             Sesampainya di kediaman segera saja Raja Nuang Sasih menemui Puteri Mahkota. Mereka berpeluk-pelukan melepas kerinduan. Selama tujuh tahun mereka berpisah, tidak disangka dan tadak dikira  mereka akan dapat bertemu lagi. Lala Baka telah menjalani hukuman yang di kenakan kepadanya oleh ayahnya itu. mestipun hukuman itu tidak di sebutkan kapan akan berakhir, namun Baginda Raja sudah tidah mempermasalahkanya lagi. Pepatah mengatakan, “ Sebuas-buasnya  harimau tidak akan memakan anaknya “. Demikian pula halnya dengan Raja Nuang Sasih. Sekejam-kejamnya seorang ayah suatu saat akan datang juga kebijaksanaannya yang dilandasi perasaan kasih sayang kepada anaknya.
              “maafkan akunak!aku telah menghukummu selama tujuh tahun. Kumohon padamu janganlah menaruh dendam padaku”, kata Raja Nuang Sasih kepada putrinya itu.
              “Ampun Yang Mulia. Hamba sadar bahwa hambalah yang bersalah. Maafkan dan ampunilah hamba.Dan hamba sangat beterima kasih kepada Yang Mula”,kata Lala Baka sambil menitikkan air mata tanda terharu.
               Pertemuan antara orangtua dan anaknya itu begitu mengharukan. Semua yang menyaksikan merasa terharu dan meneteskan air mata. Meraka berdua antara Raja NUang Sasih dan Lala Baka sebagai Puteri Mahkota memang sangat dicintai rakyatnya. Raja yang adil telah memberikan kesejahteraan kepada selurh rakyathidup dalam keadaan aman dan tantram.
              Wahai Puteriku! Aku datang kemari untuk menjemputmu dan membawamu ke Istana Kerajaan Sumbawa.Ibunda Permaisuri sagat merindukanmu. Demikian pula rakyatku sudah sangat merindukanmu untuk hadir kemali di engah-tengah merka”,kata Raja Nuang Sasih kepada Pueri Mahkota.
             “Baiklah Padka Ayahanda”.jawab Lala Baka singkat .
              Maka berangkatlah rombongan kembali menuju kerajaan Tana Samawa dengan perasaan gembira dan sukacita. Beberapa lama kemudian sampailah rombongan di padang rumput lenang lengan. Di tempat itu Lala Baka memohon kepada Yang Mulia untuk berhenti sejenak.
              “ Ampun Yang Mulia  Hamba mohon kepada yang Mulis. Kiranya hamba tidak diizinkan oleh leluhur untuk dapat melanjutkan perjalanan ke Tana Samawa. Kiranya padang Rumput inilah yang akan menjadi kampung halaman hamba kata Tuan Puteri.
               Nampaknya dalam perjalanan itu Lala Baka mendapat bisikan dari arwah leluhernya yang tidak  mengijinkannya untuk pergi ke Tana Samawa. Dan Arwa leluhur memerintahkannya untuk bertempat tinggal di Lenang Lengan itu. Dalam kepercayaan hindu pantang untuk melanggar perintah leluhur. Nampaknya Raja Nuang Sasih memaklumi hal itu.
Wahai putriku. Jika itu merupakan perintah leluhur kita maka aku tidak akan menolak permintaanmu. Tinggallah ditempat ini sebagai kampung halamanmu. Cuma apabila cucuku kelak akan memegang Payung Serep Edang maka cucuku akan kuangkat menjadi Meke Serep. ”Sabda Baginda Raja kepada putrinya.
Akhirnya seluruh masyarakat Lenangguar, Tatebal, Late, Ledang, Ramurung, Pamangong, Kuang Jaringo, Teladan, Gunung Setia, menamakan tempat tersebut Suka Mulia.
Sekarang ini para seniman dan budayawan Desa Lenangguar mendirikan sanggar Seni Budaya Tana Samawa : Sanggar Suka Mulia Desa Lenangguar Kecamatan Ropang untuk mengabadikan dan melestarikan nama Suka Mulia sebagai bagian  dari sejarah masa lampau.

Dikutip dari Sumbawanews

Cerita Rakyat Sumbawa : JOMPONG SUAR

Ratusan tahun yang lalu tersebutlah seorang pemuda bernama Jompong Suar wajahnya tampan tubuhnya kekar berisi walaupun umurnya baru menginjak lima belas tahun. Dari penuturan orang, keluarga Jompong Suar adalah keluarga pendatang. Mereka bukan asli dari desa itu. Ayahnya bernama Pandelala dan ibunya dipanggil orang Dendelawi. Dahulunya mereka hanya sekedar mengungsi akibat terusur dari tempat asalnya.
Jompong Suar tiada beradik kakak. Ia adalah anak tunggal. Tidak mengeherankan kalau ia menjadi anak yang manja. Permintaanya kerap dikabulakan hampir tidak pernah ditolak. Kepadanya harapan masa depan orangtuanya ditumpahkan. Namun pada diri Jompang Suar terdapat watak yang kurang baik. Ibarat kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Ia suka sekali mengganggu anak - anak di dasarnya. Tak jarang menampar dan memukuli anak - anak seumurnya. Kelakuannya tidak saja mengusik tetapi bahkan merampas dan menjarah sesuatu yang bukan miliknya sering pula dilakukan. Akibatnya teman sebabnya menyingkir dan menjauhinya.

Tentang kelakuan Jompong Suar yang tidak baik itu telah banyak diberitahukan orang kepada ayahnya. Tetapi ayahnya tak pernah mengindahkan. Pandelala malah mengelak tuduhan itu dan selalu membela Jompong Suar.

Ketua adat di desa itu mencela sikap Pandelala. Tentang itu mereka semua berujar.

“Pandelala adalah sosok orangtua yang tidak bijaksana, sikap yang harus dihilangkan pada setiap orang. Membela yang salah pada gilirannya kebatilan bertambah subur. Kebenaran semakin luntur. Benar dan salah saling membentur Keadilan makin terkubur, hati nurani menjadi hancur. Sikap itu harus dihentikan”. Demikian tekad mereka.

Tetapi tabiat Jompong Suar tak kunjung berubah walaupun berkali - kali mendapat teguran dan diingatkan orang kepadanya orang desa menyindir, “kecil teranja - anja besar terbawa - bawa setelah tua takkan berubah”. Keluh orang tua, “Tak dibilang jadi binasa, dibilang juga jadi bencana”. Karena tak tahan lagi maka mufakatlah beberapa orang kampung untuk melaporkan kelakuan buruk Jompong Suar kepada Sang Raja.

Kedatuan (kerajaan) Sadiwangi mempunyai wilayah cukup luas. Ke Utara sampai ke Ai Sempang yaitu desanya Jompong Suar. Sedang ke selatan berkesudahan dengan pantai laut. Kedautan ini diperintah oleh seorang Datu (Raja)yang bernama “Buntar Buana”. Baginda raja dikenal tegas dalam pendiriannya. Keamanan dan ketenteraman rakyatnya adalah masalah utama yang sangat menjadi perhatian raja. Siapa saja yang berbuat onar atau kerusuhan, pertengkaran, perampokan, baginda raja tidak segan - segan memberikan hukuman berat terhadap pelakunya. Baginda menginginkan agar rakyatnya dapat melakukan setiap usaha mereka dengan perasaan tenang tiada dihantui rasa takut dan was - was. Sistem keamanan lingkungan sangat diperkuat. Lebih - lebih setelah peristiwa sedih menimpa istana.

Sekitar setahun yang lalu putri bungsu baginda yang bernama Mandang Wulan hilang dari istana. Tidak diketahui kemana perginya. Apakah dilerikan orang ataukah telah tewas tiada seorangpun yang  tahu. Ke seluruh penjuru kerajaan telah dilakukan pencarian namun tak seorangpun yang dapat memberikan petunjuk dimana Mandang Wulan berada. Inilah yang membuat baginda raja selalu masygul.

Pada suatu petang yang cerah tiada awan selembarpun menutupi langit. Angin semilir menerpa dedaunan menambah kesejukan di sore itu. Paduka raja bersama beberapa hulubalangnya sedang asyik berbincang - bincang. Baginda raja selalu mengaharapka agar seluruh penghuni istana tetap berupaya menemukan putri Mandang Wulan, hidup atau mati. Dan jika ditemukan supaya dibawa pulang ke istana.

Tiada lama setelah bincang - bincang selesai, masuklah seorang penjaga istana dan langsung mengharapka baginda. Setelah menghatur sembah, penjaga istana itupun berkata.

“Hamba datang untuk melaporkan bahwa di luar istana ada empat orang tamu yang ingin menghadap baginda”, kata penjaga istana.

“Bawalah mereka masuk”. Jawab baginda singkat
Setelah empat orang tamu itu bersimpuh di depan raja, salah seorang berkata.
“Ampun tuanku. Hamba berempat datang dari tempat yang jauh dengan maksud mohon perlindungan baginda yang mulia”, katanya dengan nada penuh harap.

Sambil memandang kepada tamu itu, bagindapun berkata. “Dari manakah kalian berempat ini, dan apa maksud kalian datang ke istan petang - petang begini?. Jika ada kabar penting sampaikanlah, mungkin dapat segera diselesaikan”, kata paduka raja.

“Benar tuanku. Hamba datang dari Desa Ai Sempang, yaitu desa di ujung utara kerajaa baginda. Adapun maksud kedatangan hamba dan kawan - kawan adalah untuk melaporkan bahwa di desa kami ada seorang pemuda bernama Jompong Suar yang selalu menggangu ketentraman di desa kami dan juga ketentraman anak - anak kami”. Kata salah seorang diantara mereka. ”Perbuatan pemuda itu tiada sekedar menggangu tetapi telah sampai kepada merampas dan menjarah barang - barang anak - anak kami tuanku. Mohon perlindunga tuanku”, sambungnya dengan sopan.

Mendengar laporan itu, paduka raja berucap. “Baiklah laporan kalian aku terima. Dan aku percaya bahwa kamu semua benar dan tidak membohongi kami. Besok pemuda itu akan kupanggil. Dan sekarang kamu berempat pulanglah”, kata baginda. Setelah itu keempat orang yang melapor itu pun keluar meninggalkan istana pulang kembali ke Ai Sempang.

Demikianlah, kesesokan harinya tatkala sang surya naik sepenggalah, dibawalah Jompong Suar beserta ayahnya mengahadap paduka raja. Ibarat pesakitan di depan hakim, keduanya duduk bersimpuh.Tiada berapa lama Paduka Raja berucap.

“Hai kalian berdua, manakah di antara kalian yang bernama Jompong Suar?”, tanya baginda. Kemudian Jompong Suar memandang baginda dan menjawab.

“Ampun tuanku. Hambalah yang bernama Jompong Suar dan inilah ayah hamba bernama Pandelala”, kata Jompong Suar.

Baginda raja memandang tajam kepada keduan tamunya tiu. Baginda kemudian berucap.

“Dengarkanlah oleh kalian berdua. Ketenteraman adalah idama semua orang. Perusuh dan penjarah adalah musuh semua orang pula. Beberapa orang telah datang ke istana melaporkan kelakuan yang tidak terpuji”. Kata Raja. Baginda raja berheti sejenak lalu katanya:
“Jompong Suar, engkau adalah perusuh, perampok, bahkan besok kamu akan menjadi pembunuh yang kejam. Engkau telah bersalah besar. Dan terhadap kesalahanmu, mulai hari ini juga engaku kuperintahkan untuk mencari dan membawah ke istana sebatang bambu berbatang perak, berdaun emas, dan berbunga intan. Itulah hukumanmu sebagai perusuh. Bila kau mendapatkannya aku akan memberiakan hadiah sangat berharga kepadamu. Tetapi jika engkau kembali dengan tangan hampa maka hukuman lebih berat lagi akan kau terima”, kata Baginda tuntas.
Bagai petir menyambar di siang bolong rasanya setelah Jompong Suar mendengar putusan sang Raja. Hampir saja ia jatuh pingsan, untung saja ayahnya cepat memegang pundaknya. Ia bangkit dari tempat duduknya setelah tangannya diangkat untuk segera pergi dari ruangan itu.
Dalam perjalanan pulang tak henti - hentinya Jompong Suar menghela nafas pertanda kesal atas putusan yang dijatuhkan kepadanya, Sebentar - sebentar ia mengeluh memikirkan hukuman yang berat itu. Ayahnya segera menenangkannya. Kata ayahnya:
“Wahai anaku, sabarlah meneriama putusan itu. Yakinlah di balik kesulitan akan datang kemudahan”, kata ayahnya.
“Memang benar apa yang ayah katakan dan anakda akan rela menghadapi cobaan itu. Hanya saja putusan itu terlalu kejam, tidak adil, dan tidak sebanding denga kesalahan yang anakda lakukan”, kata Jompong Suar kesal.
“Sudahlah Nak”, kata ayahnya.”Tidak baik jika terlalu menyesali nasib”, lanjut sejenak. Mereka berdua terdiam sesaat. “Ketehuila anakku bahwa sang Raja sungguh sangat kuasa. Dan karena kekuasaannya seringkali memberikan putusan tidak didasarkan atas pertimbangan, tetapi kadang - kadang lebih kepada kepentingan. Sebaiknya segera saja kau laksanakan”, bujuk ayahnya.
Pada suatupagi sebelum matahari terbit, keluarlah Jompong Suar dari rumahnya setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya. Dipeluknya ayah dan ibunya. Lepas dari pelukan kedua orangtunya. Jompong Suar sekali lagi membungkuk memberi hormat kepada orangtua yang di cintainya itu. Sekarang Jompong Suar telah memulai pengembaraanya. Sang ayah mengiringi dengan doa, sedang ibunya tak kuasa berucap apa - apa selain isak tangis yang memilukan memikirkan nasib yang akan menimpa anaknya. Kedua orangtua tiu terus mengiringi keberangkatan anaknya dengan pandangan mata, sampai akhirnya Jompong Suar tak terlihat lagi. Kedua orangtua itupun kembali masuk rumahnya.
Hari demi hari, minggu berganti minggu,dan minggupun berganti bulan telah banyak desa didatanginya mencari berita tentang bambu emas itu. Setiap bertemu orang selalu ditanyainya, namun belum seorangpun dapat menunjukinya. Bahkan banyak yang menyatakan keheranannya mendengar putuan raja yang diberikan kepadanya.
Kini Jompong Suar memutuskan untuk mengembara ke hutan rimba dimana pohon bambu banyak tumbuh. Boleh jadi bambu emas itu dapat ditemukan di antara rumpun bambu yang banyak itu. Tak terhitung bukit yang sudah didaki, tak terbilang lembah yang sudah dituruni namun nasibnya belum beruntung. Sekarang badannya terasa sangat letih. Makanan yang sempat dibawanya telah lama habis. Perutnya hanya diisi buah - buahan yang dipetiknya dari pohon - pohon kayu di hutan. Tiada uang ataupun belanja diberikan ayahnya, kecuali hanya sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Di bahunya tergantung sebuah kantong kecil berisikan selembar kain untuk pembalut tubuhnya tatkala kedinginan.
Tiga purnama sudah dilalui namun belum juga ada tanda - tanda dapat menemukan apa yang dicarinya. Untunglah tiada seekorpun binatang buas yang menggangu dalam pengembaraannya. Dalam berbagai kesulitan itu, Jompong Suar tiada berputus asa. Teringat selalu pesan ayahnya bahwa di balik kesulitan akan datang kemudahan. Kalimat ini membuat jiwanya semakin hidup, tulang belulangnya semakin kokoh dan langkahnya kian mantap. Dalam dirinya tumbuh tekad. Semboyannya adalah jauh berjalan banyak dilihat jauh merantau banyak di dapat. Segar dalam ingatanya pepatah yang mengatakan ‘Berlayar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas’.
Pada suatu siang, di tengah belantara yang tidak pernah terinjak kaki manusia, udaranya panas, tiada angin bertiup, cahaya matahari seakan membakar persada. Karena sangat letihnya Jompong Suar beristirahat di bawah sebatang kayu. Dalam kepenataannya dia akhirnya tertidur. Beberapa lama Jompong Suar tertidurpulas, tiba - tiba dia serentak bangun. Dalam tidurnya dia bermimpi seolah - olah ada yang memanggil namanya.
“Dari manakah datangnya suara itu? Dan siapakah yang menyebut namaku di belantara yang sesunyi ini? Pikirnya. Jompong Suar seolah - olah merasa yakin bahwa mimpinya itu akan ada maknanya. Perasaanya semakin hidup dan bertekad keras akan mencari dari mana datangnya suara itu. Kemudian ia bangkit dan berjalan. Dilengah keheranannya akan suara panggilan tadi diteruskan juga langkahnya mengikuti irama hatinya. Sebuah batu besar menghalang di depannya. Jompong Suar mendekati batu besar itu, mengintari sekelilingnya untuk meneliti.
Dengan tiada diduga sebelumnya tiba-tiba dilihatnya sebuah gua serangkaian dengan batu besar itu. Perasaanya cemas bercampur takut. Tetapi ia berusaha melawan rasa takutnya itu. Ia memberanikan diri dan berjalan perlahan - lahan menghampiri mulut gua. Dan alangkah terkejutnya ketika Jompong Suar melihat jelas di dalam gua itu berdiri seorang gadis remaja cantik jelita. Jompong Suar tertegun sejenak. Hati dan pikirannya belum percaya dengan pandangan matanya. Diusapnya matanya berkali - kali.
“Apakah aku sedang berhayal?”. “Jika benar apakah gadis itu manusia biasa?”. “Atau barangkali sosok Jin penghuni gua ini?”, demikian macam-macam pikira yang muncul di benaknya Jompong Suar terus dihujani berbagai pertanyaan dalam benaknya. “Kalai gadis ini manusia biasa maka anak siapakah gerangan?”. “Dan mengapa pula dia memilih hidup di tempat yang terasing ini?”, tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sebelum berbagai pertanyaan itu terjawab, dengan langkah gontai gadis itu menghampirinya. Dengan suara lembut gadisd itu menyapa.
“Duhai Pangeran!. Sipakah Pangeran sebenarnya?. Dan apakah maksud pangeran datang ke tempat yang jauh, seram, dan angker ini?”, sapanya kepada Jompong Suar. Jompong Suar masih saja terteguh atas segala peristiwa yang dialaminya ini. Ia masih mencoba menyakinkan dirinya bahwa apa yang ada di hadapnya ini bukanlah mimpi. Sambil mencoba untuk menenangkan perasaannya. Sementara itu putri gua yang cantik jelita itu terus menatapnya dengan pandangan malu - malu tetapi penuh harap. Akhirnya Jompong Suar menguasai segenap perasaan dan jiwanya maka barulah ia mencoba menjawab sang putri gua itu.
“Ampun Tuan Putri. Hamba telah berani datang ke tempat ini yang menjebabkan Tuan Putri terusik”. Kata Jompong Suar merendah sebagaimana layaknya seorang rakyat biasa.
“Oh. Tidak apa - apa”, kata gadis itu menghibur. “Saya sangat senang menerima kedatangan Pangeran”, sambungnya.
Kemudian Jompong Suar berbicara. “Tuan Putri, hamba bukanlah seorang Pangeran, hamba bukan dari golongan berdarah biru. Hamba adalah manusia biasa”, kata Jompong Suar menjelaskan kedudukan dirinya. “Nama hamba Jompong Suar anak desa, tuan Puteri.” Setelah mendengar penjelasan itu gadis itupun berkata.
“Wahai kanda Jompong Suar namaku Mandang Wulan. Tetapi panggil saja aku dinda supaya pembicaraan kita lebih akrab”.
Selanjutnya Jompong Suar melanjutka pertanyaan. “Wahai dinda Mandang Wulan. Gerangan apakah sebabnya dinda berada di tempat ini. Jika dinda manusia juga  seperti aku tolong jelaskan kepada kanda siapakah ayah bunda adinda dan di manakah mereka sekarang berada?”.
Sejenak gadis itu terdiam. Matanya berkaca - kaca. Bibirnya yang tipis mungil itu bergetar seolah - olah ia mencoba membendung sesuatu perasaan yang menyesakkan di dadanya. Jompong Suar menatapnys dengan pandangan yang sangat bersahabat, sehingga gadis itu merasa yakin untuk menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
“Baiklah kanda. Akan kuceritakan semuanya. Tetapi sebaiknya kita duduk di dalam saja. Tak baik bercakap sambil berdiri walaupun kita di tengah hutan dan berdua pula”. Gadis itu mengajak Jompong Suar menuju serambi depan gua.
Setelah kedua muda mudi itu duduk berhadapan mulailah Putri Mandang Wulan bercerita. Putri menarik nafasnya dalam - dalam seakan berpikir dari mana akan dimulai ceritanya. Sejurus kemudian ia berkata.
“Kanda Jompong Suar. Di tempat yang sunyi ini aku hidup sebatangkara. Aku bagaikan anak terbuang dan tak obahnya bagai dalam penjara. Tiada ibu ataupun ayah apalagi sanak saudara. Tiada teman tempat mengadu, tiada sahabat pelipur rindu. Hidupku terasa tersiksa walaupun kanda melihatku gembira. Makan nasi serasa sekam, minum air serasa duri. Batinku terkonyak dan harapku hampir punah. Rumahku gua angker ini hendak pergi kemana lagi”. Gadis itu berhenti sejenak untuk menarik nafasnya. Setetes air mata membasahi pipinya yang merah. Bibirnya bergetar. Kembali ia mencoba menenangkan perasaan dan pikiranya. Sesaat kemudian dia melanjutkan kembali kisahnya.
“Satu - satunya yang memberiku hidup di tempat ini ialah seorang raksasa wanita. Dialah pengganti ibuku dan sehari - hari kupanggil nenek”, kata MandangWulan. Tersirap darah Jompong Suar ketika Putri Mandang Wulan menyebut raksasa sebagai nenek.
“Duhai dinda putri jadi engaku ini anak raksasa?. Oh...... kalau begitu sebaiknya aku segera lari dari tempat ini!. “Kata Jompong Suar. Kemudian gadis itu menyambung.
“Tenanglah kanda: dengarlah kisahku sampai selesai. Bukankah sudah ku katakan bahwa aku ini manusia, bukan peri dan juga bukan jin. Aku takkan sampai hati untuk menipumu”, kata gadis itu, lalu kemudian meneruskan pembicaraan.
“Nenekku akan kembali ke gua setelah matahari terbenam. Karena itu tenangkanlah diri kanda. Aku akan ceritakan lebih jauh tentang diriku ini. Kanda, sebenarnya aku ini adalah putri seorang raja. Tetapi aku bernasib buruk. Dahulu sewaktu aku berjalan - jalan di halaman istana tiba - tiba aku disambar oleh seorang raksasa wanita dan membawaku ke tempat ini. Aku meronta - ronta dan minta tolong tetapi waktu itu tak ada yang mendengarku. Tak seorangpun dari penghuni istana mengetahui kepergianku. Sekarang sudah setahun lamanya aku tersiksa di tempat ini, tinggal menunggu saatnya aku kan mati”. Mandang wulan mengakhiri ceritanya. Air matanya deras mengalir. Segala perasaan berkecamuk di dalam batinya. Rindu ayahda dan bunda, rindu saudara - saudaranya. Teringat saat – saat bahagia bersama ayah bunda dan segenap penghuni istana. teringat inang pengasuhnya yang mengurusnya setiap hari. Sekarang selama setahun hati dan jiwanya kosong. Dengan kehadiran Jompong Suar ada setitik harapan di dalam batinnya. Mungkinkah Yang Maha Kuasa telah datang untuk menolongnya.
Iba hati Jompong Suar mendengar penuturan gadis jelita itu. Seperti halnya Mandang wulan, maka sekarang Jompong Suar mencoba mencoba membagi perasaan dengan Mandang Wulan, Jompong Suar mencoba untuk menceritkan dirinya lebih jauh lagi.
“Dinda Mandang Wulan tercinta. Jika demikian halmu maka dengarlah ceritaku”, kata Jompong Suar. Bergetar hati Mandang Wulan menyimak kata - kata Jompong Suar. Ada perasaan lain yang menyejukkan hatinya. Kemudian Jompong Suar melanjutkan kisahnya.
“Aku ini lelaki yang bernasib buruk tak ubahnya seperti engkau juga. Aku dituduh bersalah besar. Paduka raja memberiku hukuman yang berat. Ya hukuman yang sangat berat yang sebenarnya tak kuasa aku untuk melalukannya. Aku diperintahkan untuk mencari sebatang bambu berdaun emas, berbunga intan. Jika aku menemukan bambu itu maka aku akan beroleh hadiah dari baginda Raja, tetapi jika tidak maka aku akan mendapatkan hukuman yang lebih berat lagi. Telah habis daratan kudatangi tetapi bambu itu tidak kutemukan. Kini aku mencari di hutan rimba. Itulah sebabnya aku sampai ke tempat ini. Jika tiada akupun takkan kembali walaupun ayah dan ibu menungguku kembali. Demikian dinda kisahku sampai aku berada di hadapanmu sekarang ini”. Jompong Suar mengakhiri kisahnya.
Kini mandang Wulan merasa agak tenang dan terhibur. Sekarang setelah hadir di sampingnya seseorang dimana dia dapat membagi duka derita. Ada perasaan senasib, ada kekuatan batin yang menyatu untuk menembus apapun permasalahan dan penghalang dalam hidup ini. Dua kekuatan yang selama ini beku dan hampir mati, kini saling mengisi kekosongan masing - masing.
“Duhai Kanda Jompong Suar. Sama benar nasib kita” kata Mandang Wulan memulai lagi pembicaraan. Kata - kata itu kemudian dilanjutkannya dengan senandung syair yang merdu dari bibir seorang Putri raja.
Hendak ku pulang ke kampung halaman
Namun kemana kucari teman
Ingin bertemu ayah bundaku
Siapa pula sudi membantu
Akan halnya Jompong Suar yang mendapatkan tugas berat untuk memperoleh bambu yang berdaun emas dan berbunga intan, yang akan menentukan hidup atau matinya, itulah yang masih tetap membebani pikirannya. Namu tak disangka - sangka oleh Jompong Suar tiba - tiba saja Mandang Wulan memberikannya harapan.
“Duhai Kanda Jompong Suar. Pucuk dicinta ulam tiba. Segala titah baginda Raja yang dibebankan kepadamu sebagai hukuman itu tentu akan berakhir”, kata Mandang Wulan.
“Oh Dinda Mandang Wulan. Aku tidak mengerti maksudmu”, kata Jompong Suar. “Dengarlah Kanda. Ditempat yang sunyi inilah aku diberi tugas oleh  Nenek raksasa untuk menjaga sebuah bambu seperti yang Kanda maksudkan itu” kata Mandang Wulan melanjutkan.
“Oh. Benarkah kata - katamu Dinda?”, tanya Jompong Suar, tergesa - gesa.
“Benar Kanda, Tak mungkin aku membohongimu. Ayolah Kanda kita kesana untuk mengambilnya”, lanjut Mandang Wulan. Semakin besar harapan Jompong Suar untuk kembali ke kampung halamannya.
Mereka berjalan menuju pohon bambu itu. Jompong Suar tidak menyia - nyiakan waktu. Sebentar saja bambu itu sudah berada di tangannya. Tiada terkira gembira hati Jompong Suar. Ia akan membawah Putri Mandang Wulan pergi ke kampung bertemu dan bersatu dengan orangtuanya. Setelah bambu itu berada di tanganya. Jompong Suar segera mengajak Mandang Wulan untuk meninggalkan tempat itu.
“Wahai Dinda bergegaslah secepatnya. Matahari telah condong ke barat. Sebentar lagi tentu raksasa itu kembali”, kata Jompong Suar. Maka segeralah Mandang Wulan mempersiapkan sesuatu yang mungkin masih dapat dibawanya untuk bekal perjalanan. Terlontarlah harapan kepada Jomong Suar.
“Benar Kanda. Tak tahan aku di tempat ini. Perjumpaan kita yang tak terduga ini adalah petunjuk Tuhan. Bawalah aku kemana saja. Jangan tinggalka aku Kanda. Aku tak ingin berpisah denganmu. Kalau aku harus mati maka biarkanlah aku mati asalkan tetap bersamu, Kanda”, kata Mandang Wulan.
 Keduanya segera meninggalkan gua mereka itu. Mereka membawa bambu berdaun emas dan beebunga intan itu. Bambu itu adalah milik Nenek raksasa tidak sebatangpun terdapat di tempat lain. Bambu itu tingginya hanya sehasta, mempunyai empat ruas dan empat pula buku. Pada setiap buku terdapat sebuah tangkai. Dan di ujung tangkai terdapat sebuah daun emas dan masing - masing mempunyai sebuah kuncup yang warnanya berbeda pula. Tangkai pertama berwara hijau dinamakan kuncup angin. Tangkai kedua berwarna putih dinamakan kuncup air. Tangkai ketiga warnanya merah dinamaka kuncup api. Sedangkan yang keempat berwarna kuning dinamakan kuncup tanah. Dari batangnya keluarlah sinar yang indah lebih - lebih di malam hari. Karena itu siang malam kedua remaja itu terus berjalan berkat adanya sinar terang bambu emas itu menjadi penerang jalan yang dilaluinya.
Setelah tiga hari tiga malam lamanya mereka berjalan menyusuri belantara, tiba - tiba pada hari keempat terdengar oleh mereka suara menakutkan. Putri Mandang Wulan maklum bahwa suara itu adalah suara raksasa. Rupanya rakasasa itu sudah mengetahui kalau Mandang Wulan telah menghilang lari meninggalkan gua. Raksasa itu terbang mengitari hutan mencari cahaya bambu emas kepunyaannya. Mandang Wulan telah melihat raksasa itu datang mengejar mereka. Bagaikan akan tumbang pepohonan disebabkan angin kepakan sayapnya. Jompong Suar mulai kuatir akan keselamatan mereka berdua. Namun tidak demikian dengan Mandang Wulan.
“Kanda berikan bambu itu kepada dinda, agaknya kita dalam bahaya”, ucapnya. Segeralah Mandang Wulan meniup kuncup angin. Maka seketika bertiuplah angin yang sangat kencang dan kuat ke arah raksasa itu. Raksasa itu terlempar dan kemudian terhempas ke tanah. Raksasa itu meraung - raung kesakitan.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Namun tidak lama kemudian raksasa itu datang lagi. Kali ini ia lebih geram. Suara teriakannya menggemuruh menggema seolah - olah akan meruntuhkan seluruh pepohonan yang ada. Raksasa itu kini sangat marah. Jompong Suar sangat ketakutan. Mereka berdua terus saja berjalan berlari, sementara itu raksasa terus mengejar. Ketika raksasa itu sudah semakin mendekat maka berkatalah Putri Mandang Wulan.

“Tenanglah Kanda, jangan jauh dari diriku”, kata Mandang Wulan mantap. Sementara raksasa itu terus mendekat. Mandang Wulan kembali meniup kuncup bambu itu. Kali ini yang ditiup adalah kuncup air. Maka turunlah hujan yang sangat deras disertai petir yang menyambar. Hujan yang deras membuat raksasa itu basah kuyup dan menggigil kedinginan lalu tersungkur jatuh.
Putri Mandang Wulan mengajak Jompong Suar mempercepat perjalanan. Gadis itu yakin bahwa raksasa itu tetap akan mengejar mereka. Mereka terus mempercepat perjalanan. Tepat seperti apa yang dikatakan Mandang Wulan, sekarang raksasa itu kembali mengejar. Terdengar di kejauhan suaranya yang gemuruh melabrak pepohonan. Bunyi pohon patah gemeretak dan batu - batu pecah berhamburan dihantam oleh sang raksasa yang kian marah. Mandang Wulan dan Jompong Suar melihat itu datang dari arah yang berlawanan. Rupanya raksasa itu mengambil jalan melintas untuk menghadang dan menyerap kedua remaja itu. Tampak oleh mereka berdua raksasa itu membawah beberapa potong tali.  Suaranya membelah hutan sekitar.
“Sekarang kalian akan mampus. Akan kuikat leher kalian dan akan kubuang kalian ke tengah laut, agar kalian menjadi santapan buaya”, geramnya.
“Cepatlah Dinda, jangan biarkan dia menghampiri kita. Dia sangat berbahaya kata Jompong Suar.
Segeralah Putri Mandang Wulan mengangkat bambu itu tinggi - tinggi sambil berkata.
“Kesempatan ini akan kutamatkan riwayat raksasa itu. Kanda biarlah supaya kita aman menempuh perjalanan ini”, kata Mandang Wulan.
Dengan sekuat tenaga kuncup ketiga dan keempat ditiupnya secara bersamaan. Yaitu kuncup api dan kuncup tanah. Alangkah ajaibnya dari kuncup sekecil itu bersemburan api yang dahsyat melalap rakasasa yang galak dan jahat itu, sehingga menghanguskan sayap dan seluruh tubuhnya. Pekik kesakitan menggelegar dari mulut sang raksasa. Tanah tempat berdirinya terbelah membenamkan tubuhnya hingga batas perutnya. Kendatipun raksasa yang kuat itu berusaha melepaskan diri tetapi jepitan tanah itu seolah - olah semakin kuat saja menjepitnya. Raksasa itu meraung - raung kesakitan. Tulang belulangnya remuk dan seluruh daging di tubuhnya telah hangus terbakar. Akhirnya sang raksasa yang ganas itu rebah ke bumi tiada bangun lagi.
Mandang Wulan merasa terteguh juga. Raksasa yang selama lebih dari setahun dipanggilnya dengan nenek itu kini telah tewas. Adajuga kesedihan yang menyelinap dalam batinnya. Dirinya memang telah dibuat tersiksa oleh raksasa itu. Selama dalam sekapan raksasa itu sang raksasa ternyata tidak pernah menyakiti tubuhnya. Tetapi raksasa itu tetap saja punya tujuan akhir untuk membuatnya menderita. Sekarang lepas sudah segala penderitaan itu. Dalam kelelahan perjalanan itu Mandang Wulan mulai berbicara.
“Kini amanlah perjalanan kita Kanda. Bersyukurlah kepada Yang Maha Pengasih. Kita telah dilindungi dan diselamatkan”, kata Mandang Wulan.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan menuu kampung halaman yang letaknya masih cukup jauh. Mandang Wulan sebagai putri seorang raja yang masa kecilnya hidup dan dibesarkan dilingkungan istana tidak banyak mengetahui perihal daerah di luar istana. Sehinga dalam perjalanan kerap kali dia bertanya kepada Jompong Suar tentang nama tempat, nama kampung atau nama desa yang dilaluinya.

Kangen dan rindu kampung halaman, rindu kepada ayah bunda, dan sanak saudara kian hari kian memuncak. Perjalanan yang sulit, jauh, dan melelahkan itu seolah tidak dipedulikan lagi. Lebih - lebih bahaya yang paling besar telah mereka atasi berdua. Mereka terus berjalan. Akhirnya mereka sampai di batas kota. Tiba - tiba Mandang Wulan bertanya kepada Jompong Suar.

“Kanda kalau boleh dinda bertanya di kerjaan mana gerangan tujuan kita sekarang dan siapakah pula paduka raja yang telah menjatuhkan hukuman itu”, tanya Mandang Wulan. Belum sempat Jompong Suar menjawab, Mandang Wulan melanjutkan lagi pertanyaan. “Bagaimana seandainya bambu yang Kanda persembahan ini ditolak oleh dang Paduka Raja, karena boleh jadi tidak serupa dengan bambu yang dimaksudkan?”,

Mendapat pertanyaan itu Jompong Suar terteguh. Memang benar, sekiranya paduka Raja menyatakan bahwa bukanlah bambu itu yang dimaksudkan, maka tentulah sesuai dengan janji baginda bahwa kepadanya akan diberikan hukuman yang lebih berat lagi. Namun hukuman itu tidak jelas dan tidak diketahui bentuknya. Jompong Suar menyadari bahwa Mandang Wulan sedang merisaukan nasib mereka berdua. Sekiranya Jompong Suar mendapat hukuman yang lebih berat tentunya Mandang Wulan akan mengalami nasib yang tidak jelas pula. Akankah dirinya dapat bertemu dengan ayah bundanya atau akan ikut dihukum oleh sang Raja sekiranya raja itu adalah raja yang kejam. Berbagai pikiran dan perasaan berkecamuk di dalam diri mereka. Atas pertanyaan Mandang Wulan kemudian Jompang Suar menjawab.

“Tenangkanlah pikiran dan perasaan dinda. Jangan terlalu dipikirkan berbagai nasib buruk yang mungkin kita alami. Bagiku sudah mantap karena dulu ketika menerima hukuman ini dari baginda Raja aku sudah berjanji kepada baginda Raja dan kepada diriku sendiri. Aku akan menanggung apapun akibat dari semua ini”. Kata Jompong Suar menenangkan hati Putri Mandang Wulan.

“Tidak Kanda, akupun akan ikut memikul tanggugjawab. Tak sampai hati dinda membiarkan Kanda menderita seorang diri. Bukankah kita telah berjanji untuk sehidup semati dan takkan berpisah lagi?” ucap Putri Mandang Wulan.

Mendengar itu Jompong Suar kemudian melanjutkan pembicaraan.
“Dinda, untuk langkah awal, sebelum menuju kepada baginda raja dimana kanda akan menyerahkan bambu ini, maka sebaiknya kita berdua meneruskan perjalanan menuju ke kampung halamanmu untuk mengantarkanmu kepada kedua orangtuamu.  Setelah itu barulah aku akan melanjutkan perjalanan menuju ke istana raja kami yaitu Paduka Raja Buntar Buana”, kata Jompong Suar.

Mendengar itu Mandang Wulan sangat terkejut bercampur gembira karena ternyata Paduka Raja yang menjatuhkah  hukuman kepada Jompong Suar untuk mencari bambu emas itu tidak lain adalah orang tuanya sendiri Raja Buntar Buana.
Langsung saja Mandang Wulan memeluk Jompong Suar.

Bersegeralah mereka menuju ke istana Raja Buntar Buana. Setelah mereka sampai ke pintu gerbang istana, Jompong Suar menjelaskan kepada para pengawal istana akan maksud dan tujuannya ke istana, dan mohon ijin untuk menghadap Paduka Raja Buntar Buana. Maka pengawalpun segera melaporkan kepada Baginda Raja akan adanya tamu yang bernama Jompong Suar berserta seorang gadis remaja yang cantik. Baginda Rajapun segera memerintahkan pengawal untuk mengijinkan Jompong Suar masuk ke istana. Akan halnya Mandang Wulan, tidak ada di antara pengawal yang mengenalnya karena telah setahun lebih sang putri ini menghilang. Mandang Wulan dan Jompong Suar juga mencoba menahan diri untuk tidak memberikan keterangan kepada siapapun tentang sang Putri.

Maka masuklah mereka keruang istana dimana Raja Buntar Buana berada disinggasana kerajaan itu. Di ruang istana telah ada pula permaisuri yaitu ibunda dari Putri Mandang Wulan. Disamping itu segenap menteri dan punggawa juga hadir Jompong Suar dan putri Mandang Wulan segerahlah duduk bersimpuh untuk mengatur sembah. Seluruh isi istana di ruangan itu menatap kepada Mandang Wulan, nampaknya permaisuri tergetar batin dan jiwanya seolah - olah anaknya yang hilang setahun lalu kini ada di hadapannya. Perasaan yang sama dialami juga oleh baginda Raja Buntar Buana dan seluruh unsur pemerintahan istana. Mandang Wulan menatapi kedua ayah bundanya itu. Nampaknya permaisuri tak kuasa menahan perasaanya untuk segera mengetahui siapa sebenarnya gadis yang berseta dengan Jompong Suar yang kini berada di hadapannya. Lalu permaisuri berucap.

“Kakanda Baginda Raja, sungguh wajah gadis ini sangat mirip dengan Putri kita Mandang wulan”, kata permaisuri.
      Belum sempat baginda Raja menyahuti permaisuri, Mandang Wulan juga sudah tak dapat menahan haru.
“Benar Bunda Ratu dan Ayahanda Raja, hamba adalah Putri Mandang Wulan”, kata sang putri sambil menghambur memeluk kedua orangtuanya itu. Suasana jadi berubah penuh tangis keharuan. Mereka berpelukan penuh kebahagiaan. Putri yang menghilang lebih setahun lalu kini telah kembali. Maka segeralah tersebar berita itu ke seluruh pelosok kerajaan.
Raja Buntar Buana dan seluruh istana serta rakyat kerajaan sangat bersuka cita. Kini Jompong Suar yang dihukumnya telah berhasil melaksanakan hukuman dengan penuh tanggungjawab. Bukan saja bambu itu yang telah diperoleh oleh Baginda Raja, tetapi yang tak ternilai harganya adalah putri baginda Mandang Wulan telah pula ditemukan. Seluruh rakyat mengelu - elukan baginda Raja. Akhir cerita maka cinta kasih yang telah bersemi antara Jompong Suar dan Mandang Wulan segeralah mendapat restu dari baginda Raja dan Permaisuri berserta seluruh keluarga istana. Jompong Suar dianugerahi gelar ‘Pangeran’ dan dikawinkan dengan Putri Mandang Wulan. Mereka berdua kini hidup rukun penuh kebahagiaan.
 
Sumber : Arpusda
Dikutip dari Sumbawanews