Ratusan tahun yang lalu tersebutlah seorang pemuda bernama Jompong
Suar wajahnya tampan tubuhnya kekar berisi walaupun umurnya baru menginjak lima belas tahun. Dari
penuturan orang, keluarga Jompong Suar adalah keluarga pendatang. Mereka bukan
asli dari desa itu. Ayahnya bernama Pandelala dan ibunya
dipanggil orang Dendelawi. Dahulunya mereka hanya sekedar
mengungsi akibat terusur dari tempat asalnya.
Jompong Suar tiada beradik kakak. Ia adalah anak tunggal. Tidak mengeherankan kalau ia menjadi anak yang manja. Permintaanya kerap dikabulakan hampir tidak pernah ditolak. Kepadanya harapan masa depan orangtuanya ditumpahkan. Namun pada diri Jompang Suar terdapat watak yang kurang baik. Ibarat kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Ia suka sekali mengganggu anak - anak di dasarnya. Tak jarang menampar dan memukuli anak - anak seumurnya. Kelakuannya tidak saja mengusik tetapi bahkan merampas dan menjarah sesuatu yang bukan miliknya sering pula dilakukan. Akibatnya teman sebabnya menyingkir dan menjauhinya.
Tentang kelakuan Jompong Suar yang tidak baik itu telah banyak diberitahukan orang kepada ayahnya. Tetapi ayahnya tak pernah mengindahkan. Pandelala malah mengelak tuduhan itu dan selalu membela Jompong Suar.
Ketua adat di desa itu mencela sikap Pandelala. Tentang itu mereka semua berujar.
“Pandelala adalah sosok orangtua yang tidak bijaksana, sikap yang harus dihilangkan pada setiap orang. Membela yang salah pada gilirannya kebatilan bertambah subur. Kebenaran semakin luntur. Benar dan salah saling membentur Keadilan makin terkubur, hati nurani menjadi hancur. Sikap itu harus dihentikan”. Demikian tekad mereka.
“Tenanglah Kanda, jangan jauh dari diriku”, kata Mandang Wulan mantap. Sementara raksasa itu terus mendekat. Mandang Wulan kembali meniup kuncup bambu itu. Kali ini yang ditiup adalah kuncup air. Maka turunlah hujan yang sangat deras disertai petir yang menyambar. Hujan yang deras membuat raksasa itu basah kuyup dan menggigil kedinginan lalu tersungkur jatuh.
Sumber : Arpusda
Dikutip dari Sumbawanews
Jompong Suar tiada beradik kakak. Ia adalah anak tunggal. Tidak mengeherankan kalau ia menjadi anak yang manja. Permintaanya kerap dikabulakan hampir tidak pernah ditolak. Kepadanya harapan masa depan orangtuanya ditumpahkan. Namun pada diri Jompang Suar terdapat watak yang kurang baik. Ibarat kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Ia suka sekali mengganggu anak - anak di dasarnya. Tak jarang menampar dan memukuli anak - anak seumurnya. Kelakuannya tidak saja mengusik tetapi bahkan merampas dan menjarah sesuatu yang bukan miliknya sering pula dilakukan. Akibatnya teman sebabnya menyingkir dan menjauhinya.
Tentang kelakuan Jompong Suar yang tidak baik itu telah banyak diberitahukan orang kepada ayahnya. Tetapi ayahnya tak pernah mengindahkan. Pandelala malah mengelak tuduhan itu dan selalu membela Jompong Suar.
Ketua adat di desa itu mencela sikap Pandelala. Tentang itu mereka semua berujar.
“Pandelala adalah sosok orangtua yang tidak bijaksana, sikap yang harus dihilangkan pada setiap orang. Membela yang salah pada gilirannya kebatilan bertambah subur. Kebenaran semakin luntur. Benar dan salah saling membentur Keadilan makin terkubur, hati nurani menjadi hancur. Sikap itu harus dihentikan”. Demikian tekad mereka.
Tetapi tabiat Jompong Suar tak kunjung
berubah walaupun berkali - kali mendapat teguran dan diingatkan orang kepadanya
orang desa menyindir, “kecil teranja - anja besar terbawa - bawa setelah tua
takkan berubah”. Keluh orang tua, “Tak dibilang jadi binasa, dibilang juga jadi
bencana”. Karena tak tahan lagi maka mufakatlah beberapa orang kampung untuk
melaporkan kelakuan buruk Jompong Suar kepada Sang Raja.
Kedatuan (kerajaan) Sadiwangi mempunyai
wilayah cukup luas. Ke Utara sampai ke Ai Sempang yaitu desanya Jompong Suar.
Sedang ke selatan berkesudahan dengan pantai laut. Kedautan ini diperintah oleh
seorang Datu (Raja)yang bernama “Buntar Buana”. Baginda raja
dikenal tegas dalam pendiriannya. Keamanan dan ketenteraman rakyatnya adalah
masalah utama yang sangat menjadi perhatian raja. Siapa saja yang berbuat onar
atau kerusuhan, pertengkaran, perampokan, baginda raja tidak segan - segan
memberikan hukuman berat terhadap pelakunya. Baginda menginginkan agar
rakyatnya dapat melakukan setiap usaha mereka dengan perasaan tenang tiada
dihantui rasa takut dan was - was. Sistem keamanan lingkungan sangat diperkuat.
Lebih - lebih setelah peristiwa sedih menimpa istana.
Sekitar setahun yang lalu putri bungsu
baginda yang bernama Mandang Wulan hilang dari istana. Tidak
diketahui kemana perginya. Apakah dilerikan orang ataukah telah tewas tiada
seorangpun yang tahu. Ke seluruh penjuru kerajaan telah dilakukan
pencarian namun tak seorangpun yang dapat memberikan petunjuk dimana Mandang
Wulan berada. Inilah yang membuat baginda raja selalu masygul.
Pada suatu petang yang cerah tiada awan
selembarpun menutupi langit. Angin semilir menerpa dedaunan menambah kesejukan
di sore itu. Paduka raja bersama beberapa hulubalangnya sedang asyik berbincang
- bincang. Baginda raja selalu mengaharapka agar seluruh penghuni istana tetap
berupaya menemukan putri Mandang Wulan, hidup atau mati. Dan jika ditemukan
supaya dibawa pulang ke istana.
Tiada lama setelah bincang - bincang
selesai, masuklah seorang penjaga istana dan langsung mengharapka baginda.
Setelah menghatur sembah, penjaga istana itupun berkata.
“Hamba datang untuk melaporkan bahwa di
luar istana ada empat orang tamu yang ingin menghadap baginda”, kata penjaga
istana.
“Bawalah mereka masuk”. Jawab baginda
singkat
Setelah empat orang tamu itu bersimpuh
di depan raja, salah seorang berkata.
“Ampun tuanku. Hamba berempat datang
dari tempat yang jauh dengan maksud mohon perlindungan baginda yang mulia”,
katanya dengan nada penuh harap.
Sambil memandang kepada tamu itu,
bagindapun berkata. “Dari manakah kalian berempat ini, dan apa maksud kalian
datang ke istan petang - petang begini?. Jika ada kabar penting sampaikanlah,
mungkin dapat segera diselesaikan”, kata paduka raja.
“Benar tuanku. Hamba datang dari Desa Ai
Sempang, yaitu desa di ujung utara kerajaa baginda. Adapun maksud kedatangan
hamba dan kawan - kawan adalah untuk melaporkan bahwa di desa kami ada seorang
pemuda bernama Jompong Suar yang selalu menggangu ketentraman di desa kami dan
juga ketentraman anak - anak kami”. Kata salah seorang diantara mereka.
”Perbuatan pemuda itu tiada sekedar menggangu tetapi telah sampai kepada
merampas dan menjarah barang - barang anak - anak kami tuanku. Mohon
perlindunga tuanku”, sambungnya dengan sopan.
Mendengar laporan itu, paduka raja
berucap. “Baiklah laporan kalian aku terima. Dan aku percaya bahwa kamu semua
benar dan tidak membohongi kami. Besok pemuda itu akan kupanggil. Dan sekarang
kamu berempat pulanglah”, kata baginda. Setelah itu keempat orang yang melapor
itu pun keluar meninggalkan istana pulang kembali ke Ai Sempang.
Demikianlah, kesesokan harinya tatkala
sang surya naik sepenggalah, dibawalah Jompong Suar beserta ayahnya mengahadap
paduka raja. Ibarat pesakitan di depan hakim, keduanya duduk bersimpuh.Tiada
berapa lama Paduka Raja berucap.
“Hai kalian berdua, manakah di antara kalian
yang bernama Jompong Suar?”, tanya baginda. Kemudian Jompong Suar memandang
baginda dan menjawab.
“Ampun tuanku. Hambalah yang bernama
Jompong Suar dan inilah ayah hamba bernama Pandelala”, kata Jompong Suar.
Baginda raja memandang tajam kepada
keduan tamunya tiu. Baginda kemudian berucap.
“Dengarkanlah oleh kalian berdua.
Ketenteraman adalah idama semua orang. Perusuh dan penjarah adalah musuh semua
orang pula. Beberapa orang telah datang ke istana melaporkan kelakuan yang
tidak terpuji”. Kata Raja. Baginda raja berheti sejenak lalu katanya:
“Jompong Suar, engkau adalah perusuh,
perampok, bahkan besok kamu akan menjadi pembunuh yang kejam. Engkau telah
bersalah besar. Dan terhadap kesalahanmu, mulai hari ini juga engaku
kuperintahkan untuk mencari dan membawah ke istana sebatang bambu berbatang
perak, berdaun emas, dan berbunga intan. Itulah hukumanmu sebagai perusuh. Bila
kau mendapatkannya aku akan memberiakan hadiah sangat berharga kepadamu. Tetapi
jika engkau kembali dengan tangan hampa maka hukuman lebih berat lagi akan kau
terima”, kata Baginda tuntas.
Bagai petir menyambar di siang bolong
rasanya setelah Jompong Suar mendengar putusan sang Raja. Hampir saja ia jatuh
pingsan, untung saja ayahnya cepat memegang pundaknya. Ia bangkit dari tempat
duduknya setelah tangannya diangkat untuk segera pergi dari ruangan itu.
Dalam perjalanan pulang tak henti -
hentinya Jompong Suar menghela nafas pertanda kesal atas putusan yang
dijatuhkan kepadanya, Sebentar - sebentar ia mengeluh memikirkan hukuman yang
berat itu. Ayahnya segera menenangkannya. Kata ayahnya:
“Wahai anaku, sabarlah meneriama putusan
itu. Yakinlah di balik kesulitan akan datang kemudahan”, kata ayahnya.
“Memang benar apa yang ayah katakan dan
anakda akan rela menghadapi cobaan itu. Hanya saja putusan itu terlalu kejam,
tidak adil, dan tidak sebanding denga kesalahan yang anakda lakukan”, kata
Jompong Suar kesal.
“Sudahlah Nak”, kata ayahnya.”Tidak baik
jika terlalu menyesali nasib”, lanjut sejenak. Mereka berdua terdiam sesaat. “Ketehuila
anakku bahwa sang Raja sungguh sangat kuasa. Dan karena kekuasaannya seringkali
memberikan putusan tidak didasarkan atas pertimbangan, tetapi kadang - kadang
lebih kepada kepentingan. Sebaiknya segera saja kau laksanakan”, bujuk ayahnya.
Pada suatupagi sebelum matahari terbit,
keluarlah Jompong Suar dari rumahnya setelah berpamitan dengan kedua
orangtuanya. Dipeluknya ayah dan ibunya. Lepas dari pelukan kedua orangtunya.
Jompong Suar sekali lagi membungkuk memberi hormat kepada orangtua yang di cintainya
itu. Sekarang Jompong Suar telah memulai pengembaraanya. Sang ayah mengiringi
dengan doa, sedang ibunya tak kuasa berucap apa - apa selain isak tangis yang
memilukan memikirkan nasib yang akan menimpa anaknya. Kedua orangtua tiu terus
mengiringi keberangkatan anaknya dengan pandangan mata, sampai akhirnya Jompong
Suar tak terlihat lagi. Kedua orangtua itupun kembali masuk rumahnya.
Hari demi hari, minggu berganti
minggu,dan minggupun berganti bulan telah banyak desa didatanginya mencari
berita tentang bambu emas itu. Setiap bertemu orang selalu ditanyainya, namun
belum seorangpun dapat menunjukinya. Bahkan banyak yang menyatakan keheranannya
mendengar putuan raja yang diberikan kepadanya.
Kini Jompong Suar memutuskan untuk
mengembara ke hutan rimba dimana pohon bambu banyak tumbuh. Boleh jadi bambu
emas itu dapat ditemukan di antara rumpun bambu yang banyak itu. Tak terhitung
bukit yang sudah didaki, tak terbilang lembah yang sudah dituruni namun
nasibnya belum beruntung. Sekarang badannya terasa sangat letih. Makanan yang
sempat dibawanya telah lama habis. Perutnya hanya diisi buah - buahan yang
dipetiknya dari pohon - pohon kayu di hutan. Tiada uang ataupun belanja
diberikan ayahnya, kecuali hanya sebilah pisau kecil yang terselip di
pinggangnya. Di bahunya tergantung sebuah kantong kecil berisikan selembar kain
untuk pembalut tubuhnya tatkala kedinginan.
Tiga purnama sudah dilalui namun belum
juga ada tanda - tanda dapat menemukan apa yang dicarinya. Untunglah tiada
seekorpun binatang buas yang menggangu dalam pengembaraannya. Dalam berbagai
kesulitan itu, Jompong Suar tiada berputus asa. Teringat selalu pesan ayahnya
bahwa di balik kesulitan akan datang kemudahan. Kalimat ini membuat jiwanya
semakin hidup, tulang belulangnya semakin kokoh dan langkahnya kian mantap.
Dalam dirinya tumbuh tekad. Semboyannya adalah jauh berjalan banyak dilihat
jauh merantau banyak di dapat. Segar dalam ingatanya pepatah yang mengatakan
‘Berlayar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas’.
Pada suatu siang, di tengah belantara
yang tidak pernah terinjak kaki manusia, udaranya panas, tiada angin bertiup,
cahaya matahari seakan membakar persada. Karena sangat letihnya Jompong Suar
beristirahat di bawah sebatang kayu. Dalam kepenataannya dia akhirnya tertidur.
Beberapa lama Jompong Suar tertidurpulas, tiba - tiba dia serentak bangun.
Dalam tidurnya dia bermimpi seolah - olah ada yang memanggil namanya.
“Dari manakah datangnya suara itu? Dan
siapakah yang menyebut namaku di belantara yang sesunyi ini? Pikirnya. Jompong
Suar seolah - olah merasa yakin bahwa mimpinya itu akan ada maknanya.
Perasaanya semakin hidup dan bertekad keras akan mencari dari mana datangnya
suara itu. Kemudian ia bangkit dan berjalan. Dilengah keheranannya akan suara
panggilan tadi diteruskan juga langkahnya mengikuti irama hatinya. Sebuah batu
besar menghalang di depannya. Jompong Suar mendekati batu besar itu, mengintari
sekelilingnya untuk meneliti.
Dengan tiada diduga sebelumnya tiba-tiba
dilihatnya sebuah gua serangkaian dengan batu besar itu. Perasaanya cemas
bercampur takut. Tetapi ia berusaha melawan rasa takutnya itu. Ia memberanikan
diri dan berjalan perlahan - lahan menghampiri mulut gua. Dan alangkah
terkejutnya ketika Jompong Suar melihat jelas di dalam gua itu berdiri seorang
gadis remaja cantik jelita. Jompong Suar tertegun sejenak. Hati dan pikirannya
belum percaya dengan pandangan matanya. Diusapnya matanya berkali - kali.
“Apakah aku sedang berhayal?”. “Jika
benar apakah gadis itu manusia biasa?”. “Atau barangkali sosok Jin penghuni gua
ini?”, demikian macam-macam pikira yang muncul di benaknya Jompong Suar terus
dihujani berbagai pertanyaan dalam benaknya. “Kalai gadis ini manusia biasa
maka anak siapakah gerangan?”. “Dan mengapa pula dia memilih hidup di tempat
yang terasing ini?”, tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sebelum berbagai pertanyaan itu
terjawab, dengan langkah gontai gadis itu menghampirinya. Dengan suara lembut
gadisd itu menyapa.
“Duhai Pangeran!. Sipakah Pangeran
sebenarnya?. Dan apakah maksud pangeran datang ke tempat yang jauh, seram, dan
angker ini?”, sapanya kepada Jompong Suar. Jompong Suar masih saja terteguh
atas segala peristiwa yang dialaminya ini. Ia masih mencoba menyakinkan dirinya
bahwa apa yang ada di hadapnya ini bukanlah mimpi. Sambil mencoba untuk menenangkan
perasaannya. Sementara itu putri gua yang cantik jelita itu terus menatapnya
dengan pandangan malu - malu tetapi penuh harap. Akhirnya Jompong Suar
menguasai segenap perasaan dan jiwanya maka barulah ia mencoba menjawab sang
putri gua itu.
“Ampun Tuan Putri. Hamba telah berani
datang ke tempat ini yang menjebabkan Tuan Putri terusik”. Kata Jompong Suar
merendah sebagaimana layaknya seorang rakyat biasa.
“Oh. Tidak apa - apa”, kata gadis itu
menghibur. “Saya sangat senang menerima kedatangan Pangeran”, sambungnya.
Kemudian Jompong Suar berbicara. “Tuan
Putri, hamba bukanlah seorang Pangeran, hamba bukan dari golongan berdarah
biru. Hamba adalah manusia biasa”, kata Jompong Suar menjelaskan kedudukan
dirinya. “Nama hamba Jompong Suar anak desa, tuan Puteri.” Setelah mendengar
penjelasan itu gadis itupun berkata.
“Wahai kanda Jompong Suar namaku Mandang
Wulan. Tetapi panggil saja aku dinda supaya pembicaraan kita lebih akrab”.
Selanjutnya Jompong Suar melanjutka
pertanyaan. “Wahai dinda Mandang Wulan. Gerangan apakah sebabnya dinda berada
di tempat ini. Jika dinda manusia juga seperti aku tolong jelaskan kepada
kanda siapakah ayah bunda adinda dan di manakah mereka sekarang berada?”.
Sejenak gadis itu terdiam. Matanya
berkaca - kaca. Bibirnya yang tipis mungil itu bergetar seolah - olah ia
mencoba membendung sesuatu perasaan yang menyesakkan di dadanya. Jompong Suar
menatapnys dengan pandangan yang sangat bersahabat, sehingga gadis itu merasa
yakin untuk menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
“Baiklah kanda. Akan kuceritakan
semuanya. Tetapi sebaiknya kita duduk di dalam saja. Tak baik bercakap sambil
berdiri walaupun kita di tengah hutan dan berdua pula”. Gadis itu mengajak
Jompong Suar menuju serambi depan gua.
Setelah kedua muda mudi itu duduk berhadapan
mulailah Putri Mandang Wulan bercerita. Putri menarik nafasnya dalam - dalam
seakan berpikir dari mana akan dimulai ceritanya. Sejurus kemudian ia berkata.
“Kanda Jompong Suar. Di tempat yang
sunyi ini aku hidup sebatangkara. Aku bagaikan anak terbuang dan tak obahnya
bagai dalam penjara. Tiada ibu ataupun ayah apalagi sanak saudara. Tiada teman
tempat mengadu, tiada sahabat pelipur rindu. Hidupku terasa tersiksa walaupun
kanda melihatku gembira. Makan nasi serasa sekam, minum air serasa duri. Batinku
terkonyak dan harapku hampir punah. Rumahku gua angker ini hendak pergi kemana
lagi”. Gadis itu berhenti sejenak untuk menarik nafasnya. Setetes air mata
membasahi pipinya yang merah. Bibirnya bergetar. Kembali ia mencoba menenangkan
perasaan dan pikiranya. Sesaat kemudian dia melanjutkan kembali kisahnya.
“Satu - satunya yang memberiku hidup di
tempat ini ialah seorang raksasa wanita. Dialah pengganti ibuku dan sehari -
hari kupanggil nenek”, kata MandangWulan. Tersirap darah Jompong Suar ketika
Putri Mandang Wulan menyebut raksasa sebagai nenek.
“Duhai dinda putri jadi engaku ini anak
raksasa?. Oh...... kalau begitu sebaiknya aku segera lari dari tempat ini!.
“Kata Jompong Suar. Kemudian gadis itu menyambung.
“Tenanglah kanda: dengarlah kisahku sampai
selesai. Bukankah sudah ku katakan bahwa aku ini manusia, bukan peri dan juga
bukan jin. Aku takkan sampai hati untuk menipumu”, kata gadis itu, lalu
kemudian meneruskan pembicaraan.
“Nenekku akan kembali ke gua setelah
matahari terbenam. Karena itu tenangkanlah diri kanda. Aku akan ceritakan lebih
jauh tentang diriku ini. Kanda, sebenarnya aku ini adalah putri seorang raja.
Tetapi aku bernasib buruk. Dahulu sewaktu aku berjalan - jalan di halaman
istana tiba - tiba aku disambar oleh seorang raksasa wanita dan membawaku ke
tempat ini. Aku meronta - ronta dan minta tolong tetapi waktu itu tak ada yang
mendengarku. Tak seorangpun dari penghuni istana mengetahui kepergianku.
Sekarang sudah setahun lamanya aku tersiksa di tempat ini, tinggal menunggu
saatnya aku kan mati”. Mandang wulan mengakhiri ceritanya. Air matanya deras
mengalir. Segala perasaan berkecamuk di dalam batinya. Rindu ayahda dan bunda,
rindu saudara - saudaranya. Teringat saat – saat bahagia bersama ayah bunda dan
segenap penghuni istana. teringat inang pengasuhnya yang mengurusnya setiap
hari. Sekarang selama setahun hati dan jiwanya kosong. Dengan kehadiran Jompong
Suar ada setitik harapan di dalam batinnya. Mungkinkah Yang Maha Kuasa telah
datang untuk menolongnya.
Iba hati Jompong Suar mendengar
penuturan gadis jelita itu. Seperti halnya Mandang wulan, maka sekarang Jompong
Suar mencoba mencoba membagi perasaan dengan Mandang Wulan, Jompong Suar
mencoba untuk menceritkan dirinya lebih jauh lagi.
“Dinda Mandang Wulan tercinta. Jika
demikian halmu maka dengarlah ceritaku”, kata Jompong Suar. Bergetar hati
Mandang Wulan menyimak kata - kata Jompong Suar. Ada perasaan lain yang
menyejukkan hatinya. Kemudian Jompong Suar melanjutkan kisahnya.
“Aku ini lelaki yang bernasib buruk tak
ubahnya seperti engkau juga. Aku dituduh bersalah besar. Paduka raja memberiku
hukuman yang berat. Ya hukuman yang sangat berat yang sebenarnya tak kuasa aku
untuk melalukannya. Aku diperintahkan untuk mencari sebatang bambu berdaun
emas, berbunga intan. Jika aku menemukan bambu itu maka aku akan beroleh hadiah
dari baginda Raja, tetapi jika tidak maka aku akan mendapatkan hukuman yang
lebih berat lagi. Telah habis daratan kudatangi tetapi bambu itu tidak
kutemukan. Kini aku mencari di hutan rimba. Itulah sebabnya aku sampai ke
tempat ini. Jika tiada akupun takkan kembali walaupun ayah dan ibu menungguku
kembali. Demikian dinda kisahku sampai aku berada di hadapanmu sekarang ini”.
Jompong Suar mengakhiri kisahnya.
Kini mandang Wulan merasa agak tenang
dan terhibur. Sekarang setelah hadir di sampingnya seseorang dimana dia dapat
membagi duka derita. Ada perasaan senasib, ada kekuatan batin yang menyatu
untuk menembus apapun permasalahan dan penghalang dalam hidup ini. Dua kekuatan
yang selama ini beku dan hampir mati, kini saling mengisi kekosongan masing -
masing.
“Duhai Kanda Jompong Suar. Sama benar
nasib kita” kata Mandang Wulan memulai lagi pembicaraan. Kata - kata itu
kemudian dilanjutkannya dengan senandung syair yang merdu dari bibir seorang
Putri raja.
Hendak ku pulang ke kampung halaman
Namun kemana kucari teman
Ingin bertemu ayah bundaku
Siapa pula sudi membantu
Akan halnya Jompong Suar yang
mendapatkan tugas berat untuk memperoleh bambu yang berdaun emas dan berbunga
intan, yang akan menentukan hidup atau matinya, itulah yang masih tetap
membebani pikirannya. Namu tak disangka - sangka oleh Jompong Suar tiba - tiba
saja Mandang Wulan memberikannya harapan.
“Duhai Kanda Jompong Suar. Pucuk dicinta
ulam tiba. Segala titah baginda Raja yang dibebankan kepadamu sebagai hukuman
itu tentu akan berakhir”, kata Mandang Wulan.
“Oh Dinda Mandang Wulan. Aku tidak
mengerti maksudmu”, kata Jompong Suar. “Dengarlah Kanda. Ditempat yang sunyi
inilah aku diberi tugas oleh Nenek raksasa untuk menjaga sebuah bambu
seperti yang Kanda maksudkan itu” kata Mandang Wulan melanjutkan.
“Oh. Benarkah kata - katamu Dinda?”,
tanya Jompong Suar, tergesa - gesa.
“Benar Kanda, Tak mungkin aku
membohongimu. Ayolah Kanda kita kesana untuk mengambilnya”, lanjut Mandang
Wulan. Semakin besar harapan Jompong Suar untuk kembali ke kampung halamannya.
Mereka berjalan menuju pohon bambu itu.
Jompong Suar tidak menyia - nyiakan waktu. Sebentar saja bambu itu sudah berada
di tangannya. Tiada terkira gembira hati Jompong Suar. Ia akan membawah Putri
Mandang Wulan pergi ke kampung bertemu dan bersatu dengan orangtuanya. Setelah
bambu itu berada di tanganya. Jompong Suar segera mengajak Mandang Wulan untuk
meninggalkan tempat itu.
“Wahai Dinda bergegaslah secepatnya.
Matahari telah condong ke barat. Sebentar lagi tentu raksasa itu kembali”, kata
Jompong Suar. Maka segeralah Mandang Wulan mempersiapkan sesuatu yang mungkin
masih dapat dibawanya untuk bekal perjalanan. Terlontarlah harapan kepada
Jomong Suar.
“Benar Kanda. Tak tahan aku di tempat
ini. Perjumpaan kita yang tak terduga ini adalah petunjuk Tuhan. Bawalah aku
kemana saja. Jangan tinggalka aku Kanda. Aku tak ingin berpisah denganmu. Kalau
aku harus mati maka biarkanlah aku mati asalkan tetap bersamu, Kanda”, kata
Mandang Wulan.
Keduanya segera meninggalkan gua
mereka itu. Mereka membawa bambu berdaun emas dan beebunga intan itu. Bambu itu
adalah milik Nenek raksasa tidak sebatangpun terdapat di tempat lain. Bambu itu
tingginya hanya sehasta, mempunyai empat ruas dan empat pula buku. Pada setiap
buku terdapat sebuah tangkai. Dan di ujung tangkai terdapat sebuah daun emas
dan masing - masing mempunyai sebuah kuncup yang warnanya berbeda pula. Tangkai
pertama berwara hijau dinamakan kuncup angin. Tangkai kedua berwarna
putih dinamakan kuncup air. Tangkai ketiga warnanya merah dinamaka kuncup
api. Sedangkan yang keempat berwarna kuning dinamakan kuncup tanah.
Dari batangnya keluarlah sinar yang indah lebih - lebih di malam hari. Karena
itu siang malam kedua remaja itu terus berjalan berkat adanya sinar terang
bambu emas itu menjadi penerang jalan yang dilaluinya.
Setelah tiga hari tiga malam lamanya
mereka berjalan menyusuri belantara, tiba - tiba pada hari keempat terdengar
oleh mereka suara menakutkan. Putri Mandang Wulan maklum bahwa suara itu adalah
suara raksasa. Rupanya rakasasa itu sudah mengetahui kalau Mandang Wulan telah
menghilang lari meninggalkan gua. Raksasa itu terbang mengitari hutan mencari
cahaya bambu emas kepunyaannya. Mandang Wulan telah melihat raksasa itu datang
mengejar mereka. Bagaikan akan tumbang pepohonan disebabkan angin kepakan
sayapnya. Jompong Suar mulai kuatir akan keselamatan mereka berdua. Namun tidak
demikian dengan Mandang Wulan.
“Kanda berikan bambu itu kepada dinda,
agaknya kita dalam bahaya”, ucapnya. Segeralah Mandang Wulan meniup kuncup
angin. Maka seketika bertiuplah angin yang sangat kencang dan kuat ke arah
raksasa itu. Raksasa itu terlempar dan kemudian terhempas ke tanah. Raksasa itu
meraung - raung kesakitan.
Kemudian mereka melanjutkan
perjalanan. Namun tidak lama kemudian raksasa itu datang lagi. Kali ini ia
lebih geram. Suara teriakannya menggemuruh menggema seolah - olah akan
meruntuhkan seluruh pepohonan yang ada. Raksasa itu kini sangat marah. Jompong
Suar sangat ketakutan. Mereka berdua terus saja berjalan berlari, sementara itu
raksasa terus mengejar. Ketika raksasa itu sudah semakin mendekat maka
berkatalah Putri Mandang Wulan.
“Tenanglah Kanda, jangan jauh dari diriku”, kata Mandang Wulan mantap. Sementara raksasa itu terus mendekat. Mandang Wulan kembali meniup kuncup bambu itu. Kali ini yang ditiup adalah kuncup air. Maka turunlah hujan yang sangat deras disertai petir yang menyambar. Hujan yang deras membuat raksasa itu basah kuyup dan menggigil kedinginan lalu tersungkur jatuh.
Putri Mandang Wulan mengajak Jompong
Suar mempercepat perjalanan. Gadis itu yakin bahwa raksasa itu tetap akan
mengejar mereka. Mereka terus mempercepat perjalanan. Tepat seperti apa yang
dikatakan Mandang Wulan, sekarang raksasa itu kembali mengejar. Terdengar di
kejauhan suaranya yang gemuruh melabrak pepohonan. Bunyi pohon patah gemeretak
dan batu - batu pecah berhamburan dihantam oleh sang raksasa yang kian marah.
Mandang Wulan dan Jompong Suar melihat itu datang dari arah yang berlawanan.
Rupanya raksasa itu mengambil jalan melintas untuk menghadang dan menyerap
kedua remaja itu. Tampak oleh mereka berdua raksasa itu membawah beberapa
potong tali. Suaranya membelah hutan sekitar.
“Sekarang kalian akan mampus. Akan
kuikat leher kalian dan akan kubuang kalian ke tengah laut, agar kalian menjadi
santapan buaya”, geramnya.
“Cepatlah Dinda, jangan biarkan dia
menghampiri kita. Dia sangat berbahaya kata Jompong Suar.
Segeralah Putri Mandang Wulan mengangkat
bambu itu tinggi - tinggi sambil berkata.
“Kesempatan ini akan kutamatkan riwayat
raksasa itu. Kanda biarlah supaya kita aman menempuh perjalanan ini”, kata
Mandang Wulan.
Dengan sekuat tenaga kuncup ketiga dan
keempat ditiupnya secara bersamaan. Yaitu kuncup api dan kuncup tanah. Alangkah
ajaibnya dari kuncup sekecil itu bersemburan api yang dahsyat melalap rakasasa
yang galak dan jahat itu, sehingga menghanguskan sayap dan seluruh tubuhnya.
Pekik kesakitan menggelegar dari mulut sang raksasa. Tanah tempat berdirinya
terbelah membenamkan tubuhnya hingga batas perutnya. Kendatipun raksasa yang
kuat itu berusaha melepaskan diri tetapi jepitan tanah itu seolah - olah
semakin kuat saja menjepitnya. Raksasa itu meraung - raung kesakitan. Tulang
belulangnya remuk dan seluruh daging di tubuhnya telah hangus terbakar.
Akhirnya sang raksasa yang ganas itu rebah ke bumi tiada bangun lagi.
Mandang Wulan merasa terteguh juga.
Raksasa yang selama lebih dari setahun dipanggilnya dengan nenek itu kini telah
tewas. Adajuga kesedihan yang menyelinap dalam batinnya. Dirinya memang telah
dibuat tersiksa oleh raksasa itu. Selama dalam sekapan raksasa itu sang raksasa
ternyata tidak pernah menyakiti tubuhnya. Tetapi raksasa itu tetap saja punya
tujuan akhir untuk membuatnya menderita. Sekarang lepas sudah segala
penderitaan itu. Dalam kelelahan perjalanan itu Mandang Wulan mulai berbicara.
“Kini amanlah perjalanan kita Kanda.
Bersyukurlah kepada Yang Maha Pengasih. Kita telah dilindungi dan
diselamatkan”, kata Mandang Wulan.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan
menuu kampung halaman yang letaknya masih cukup jauh. Mandang Wulan sebagai
putri seorang raja yang masa kecilnya hidup dan dibesarkan dilingkungan istana
tidak banyak mengetahui perihal daerah di luar istana. Sehinga dalam perjalanan
kerap kali dia bertanya kepada Jompong Suar tentang nama tempat, nama kampung
atau nama desa yang dilaluinya.
Kangen dan rindu kampung halaman, rindu
kepada ayah bunda, dan sanak saudara kian hari kian memuncak. Perjalanan yang
sulit, jauh, dan melelahkan itu seolah tidak dipedulikan lagi. Lebih - lebih
bahaya yang paling besar telah mereka atasi berdua. Mereka terus berjalan.
Akhirnya mereka sampai di batas kota. Tiba - tiba Mandang Wulan bertanya kepada
Jompong Suar.
“Kanda kalau boleh dinda bertanya di
kerjaan mana gerangan tujuan kita sekarang dan siapakah pula paduka raja yang
telah menjatuhkan hukuman itu”, tanya Mandang Wulan. Belum sempat Jompong Suar
menjawab, Mandang Wulan melanjutkan lagi pertanyaan. “Bagaimana seandainya
bambu yang Kanda persembahan ini ditolak oleh dang Paduka Raja, karena boleh
jadi tidak serupa dengan bambu yang dimaksudkan?”,
Mendapat pertanyaan itu Jompong Suar
terteguh. Memang benar, sekiranya paduka Raja menyatakan bahwa bukanlah bambu
itu yang dimaksudkan, maka tentulah sesuai dengan janji baginda bahwa kepadanya
akan diberikan hukuman yang lebih berat lagi. Namun hukuman itu tidak jelas dan
tidak diketahui bentuknya. Jompong Suar menyadari bahwa Mandang Wulan sedang
merisaukan nasib mereka berdua. Sekiranya Jompong Suar mendapat hukuman yang
lebih berat tentunya Mandang Wulan akan mengalami nasib yang tidak jelas pula.
Akankah dirinya dapat bertemu dengan ayah bundanya atau akan ikut dihukum oleh
sang Raja sekiranya raja itu adalah raja yang kejam. Berbagai pikiran dan
perasaan berkecamuk di dalam diri mereka. Atas pertanyaan Mandang Wulan
kemudian Jompang Suar menjawab.
“Tenangkanlah pikiran dan perasaan
dinda. Jangan terlalu dipikirkan berbagai nasib buruk yang mungkin kita alami.
Bagiku sudah mantap karena dulu ketika menerima hukuman ini dari baginda Raja
aku sudah berjanji kepada baginda Raja dan kepada diriku sendiri. Aku akan
menanggung apapun akibat dari semua ini”. Kata Jompong Suar menenangkan hati
Putri Mandang Wulan.
“Tidak Kanda, akupun akan ikut memikul
tanggugjawab. Tak sampai hati dinda membiarkan Kanda menderita seorang diri.
Bukankah kita telah berjanji untuk sehidup semati dan takkan berpisah lagi?”
ucap Putri Mandang Wulan.
Mendengar itu Jompong Suar kemudian
melanjutkan pembicaraan.
“Dinda, untuk langkah awal, sebelum menuju
kepada baginda raja dimana kanda akan menyerahkan bambu ini, maka sebaiknya
kita berdua meneruskan perjalanan menuju ke kampung halamanmu untuk
mengantarkanmu kepada kedua orangtuamu. Setelah itu barulah aku akan
melanjutkan perjalanan menuju ke istana raja kami yaitu Paduka Raja Buntar
Buana”, kata Jompong Suar.
Mendengar itu Mandang Wulan sangat
terkejut bercampur gembira karena ternyata Paduka Raja yang menjatuhkah
hukuman kepada Jompong Suar untuk mencari bambu emas itu tidak lain adalah
orang tuanya sendiri Raja Buntar Buana.
Langsung saja Mandang Wulan memeluk Jompong Suar.
Langsung saja Mandang Wulan memeluk Jompong Suar.
Bersegeralah mereka menuju ke istana
Raja Buntar Buana. Setelah mereka sampai ke pintu gerbang istana, Jompong Suar
menjelaskan kepada para pengawal istana akan maksud dan tujuannya ke istana,
dan mohon ijin untuk menghadap Paduka Raja Buntar Buana. Maka pengawalpun
segera melaporkan kepada Baginda Raja akan adanya tamu yang bernama Jompong
Suar berserta seorang gadis remaja yang cantik. Baginda Rajapun segera
memerintahkan pengawal untuk mengijinkan Jompong Suar masuk ke istana. Akan
halnya Mandang Wulan, tidak ada di antara pengawal yang mengenalnya karena
telah setahun lebih sang putri ini menghilang. Mandang Wulan dan Jompong Suar
juga mencoba menahan diri untuk tidak memberikan keterangan kepada siapapun
tentang sang Putri.
Maka masuklah mereka keruang istana
dimana Raja Buntar Buana berada disinggasana kerajaan itu. Di ruang istana
telah ada pula permaisuri yaitu ibunda dari Putri Mandang Wulan. Disamping itu
segenap menteri dan punggawa juga hadir Jompong Suar dan putri Mandang Wulan
segerahlah duduk bersimpuh untuk mengatur sembah. Seluruh isi istana di ruangan
itu menatap kepada Mandang Wulan, nampaknya permaisuri tergetar batin dan
jiwanya seolah - olah anaknya yang hilang setahun lalu kini ada di hadapannya.
Perasaan yang sama dialami juga oleh baginda Raja Buntar Buana dan seluruh
unsur pemerintahan istana. Mandang Wulan menatapi kedua ayah bundanya itu.
Nampaknya permaisuri tak kuasa menahan perasaanya untuk segera mengetahui siapa
sebenarnya gadis yang berseta dengan Jompong Suar yang kini berada di
hadapannya. Lalu permaisuri berucap.
“Kakanda Baginda Raja, sungguh wajah
gadis ini sangat mirip dengan Putri kita Mandang wulan”, kata permaisuri.
Belum sempat baginda Raja menyahuti permaisuri, Mandang Wulan juga sudah tak
dapat menahan haru.
“Benar Bunda Ratu dan Ayahanda Raja,
hamba adalah Putri Mandang Wulan”, kata sang putri sambil menghambur memeluk
kedua orangtuanya itu. Suasana jadi berubah penuh tangis keharuan. Mereka
berpelukan penuh kebahagiaan. Putri yang menghilang lebih setahun lalu kini
telah kembali. Maka segeralah tersebar berita itu ke seluruh pelosok kerajaan.
Raja Buntar Buana dan seluruh istana
serta rakyat kerajaan sangat bersuka cita. Kini Jompong Suar yang dihukumnya
telah berhasil melaksanakan hukuman dengan penuh tanggungjawab. Bukan saja
bambu itu yang telah diperoleh oleh Baginda Raja, tetapi yang tak ternilai
harganya adalah putri baginda Mandang Wulan telah pula ditemukan. Seluruh rakyat
mengelu - elukan baginda Raja. Akhir cerita maka cinta kasih yang telah bersemi
antara Jompong Suar dan Mandang Wulan segeralah mendapat restu dari baginda
Raja dan Permaisuri berserta seluruh keluarga istana. Jompong Suar dianugerahi
gelar ‘Pangeran’ dan dikawinkan dengan Putri Mandang Wulan. Mereka berdua kini
hidup rukun penuh kebahagiaan.
Sumber : Arpusda
Dikutip dari Sumbawanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar